Buwun, Mardi Luhung, dan Sebuah Pertemuan
Sebenarnya, saya tak lagi asing dengan kata “Buwun” meskipun saya tak mengerti maknanya. Saya mencatatnya dalam benak sebatas judul buku kumpulan puisi yang ditulis oleh salah satu penyair favorit saya yang meraih Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2010. Selebihnya, saya tak banyak tahu, termasuk seperti apa rupa cover Buwun dan bait-bait puisi di dalamnya.
Hingga
suatu hari, ketika saya sedang berburu buku-buku bagus di Kampung Ilmu, tempat
khusus di Surabaya yang menjual buku-buku baru dan bekas dengan harga miring,
saya menemukan Buwun terpajang di
salah satu kios. Saat itulah pertama kali saya mengenal Buwun secara langsung dan langsung jatuh cinta pada covernya yang
keren.
Tanpa
berpikir panjang, langsung saya ambil buku tersebut beserta kumcer karya Indra
Tranggono. Setelah menawar-nawar dan hendak membayar, pemilik kios berkata,
“Gak mau minta tanda tangan sekalian, Mas?”
“Maksudnya?”
“Ini,
penulisnya ada di sini,” katanya sambil mempersilakan.
Saya
menoleh ke belakang. Di sana duduk beberapa orang yang baru saja melepas tawa
beberapa saat.
“Pak
Mardi Luhung?”
Sebuah
pertemuan yang mengejutkan. Apalagi bertemu pengarang sekaliber beliau.
Langsung saja Buwun kuserahkan untuk
dimintai tanda tangan. Dilanjutkan dengan sesi pemotretan bersama beliau dan
Buwun.
Tanpa
melewatkan kesempatan langka ini, saya berbincang dengan Pak Mardi Luhung dan
tak lupa pula membeli buku kumpulan cerpennya yang berjudul Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku.
Tentu, bonus tanda tangan. Tentu pula, saya sangat senang. Sebuah pertemuan
yang bagi saya seperti menemukan perhiasan di tengah jalan. Kalau kata
peribahasa, sambil menyelam minum air. Tapi yangs aya alami ini sambil menyelam
nemu mutiara.
***
Berkali-kali
saya memperhatikan Buwun, buku tipis
yang hanya memuat 18 judul puisi. Saya bolak-balik, saya baca catatan
pengantarnya, dan baru ngeh kalau tenryata yang dimaksud dengan Buwun adalah
nama pulau yang terletak di kabupaten Gresik, kota tempat tinggal Pak mardi
Luhung, yang bernama Bawean. Pulau Bawean.
Ah,
tapi mengapa buku ini bisa memenangkan penghargaan bergengsi KLA, pikir saya. Apalagi, awalnya buku ini
diterbitkan oleh Pustaka Pujangga Lamongan. Dan kemudian dicetak sendiri oleh
Pak Mardi Luhung pada awal 2011. Tapi saya sadar setelah membacanya, Bawean
atau Buwun benar-benar menyatu dengan penulisnya, Pak Mardi Luhung. Bahkan
beliau mengatakan, bukan aku yang ke Bawean tapi Bawean yang ke aku.
Semua
puisinya ditulis dalam bentuk naratif. Seperti bercerita, asyik dibaca. Saya
tidak yakin puisi ini akan memiliki kekuatan magis andai ditulis dalam bentuk
puisi pada umumnya.
Maka
saya bisa menikmati Buwun dari kumpulan puisi ini. Buwun yang juga seringkali
saya dengar ceritanya dari mulut ke mulut. Saya belum pernah sampai ke sana,
karena saya paling takut mabuk laut seperti yang dibilang Pak Mardi Luhung.
Akan tetapi biarlah, seperti yang ditulis Pak Mardi Luhung dalam puisinya yang
berjudul Buwun,“Meski tak pernah sampai, mereka tetap ingin jadi penyaksi.” Aku
akan menyaksikan Buwun lewat buku ini.
2 Responses to "Buwun, Mardi Luhung, dan Sebuah Pertemuan"
Nggak bertanya kepada penulisnya langsung, menurut sang penulis kenapa buku kumpulan puisinya bisa menang?
Nah, itu dia. belum sempat kepikiran :)
Posting Komentar