Rossi
![]() |
ilustrasi Valentino Rossi dari wikipedia.org |
Rossi
mengelap jidatnya, untuk yang kesekian kali. Siang itu gak terlalu panas. Tapi
hati Rossi yang panas. Malu juga. Ia baru saja menabrak cewek cantik yang
melaju dengan anggun di depan motornya.
Cewek
itu terjatuh, tapi dengan gesit bangun sambil menegakkan matic-nya. Tanpa
banyak cakap ia mendatangi Rossi yang ngomel gak karuan, membuka kaca helm lalu
melayangkan tamparan ke pipi Rossi yang item. Rossi meringis, naik pitam.
Orang-orang melihat ke arahnya. Sebagian yang tak sabar membunyikan klakson
keras-keras. Rossi jadi biang kemacetan.
Cewek
itu sudah ngeloyor pergi. Rossi menepikan motornya. Ia pegangi terus pipinya
yang masih terasa panas. Sebagian wajahnya ia tutupi dengan topi coklat
bertuliskan “MotoGP” yang ia kenakan sedari rumah. Ia masih tak bisa meredam
marah. Nafasnya ngos-ngosan. Tapi ia juga malu, seorang lelaki berbadan gede
ditampar cewek cantik yang badannya tak lebih besar dari cabe.
“Sumpah,
kalo ketemu lagi gue pites dia. Atau gue jadiin istri sekalian.” Ia membantin. Masih
dengan wajah bersungut-sungut.
***
“Hey,
bro! jadi kapan kita jalan?” itu Pedro, teman karib Rossi. Tubuhnya jangkung, kulitnya putih kemerahan
macam bule.
“Besok
aja aja, Sob. Habis kecelakaan nih gue.” Rossi bolak-balik memandangi Honda
Supra X 125 yang lecet-lecet di bagian depan. Belum ada sebulan ia membelinya.
Mukanya masih murung, suram, gelap segelap wajahnya. Kalau tak ingat bukan
cewek, pasti dari tadi ia sudah mewek.
“Kecelakaan
dimana, Bro?” Pedro ikut memperhatikan dan meraba-raba motor Rossi.
Lalu
Rossi cerita, dengan mata berkaca-kaca, memperlihatkan bekas tamparan yang
masih nyisa sedikit, sambil bilang, “Lu tahu gak, Dro, sakitnya tuh di sini.”
Pedro
malah ngakak. Ia tertawa sampai keluar air mata. Rossi cemberut.
“Salah
lu sih, Bro, naik sepeda motor gak pake helm. Kebiasaan, lu!” kata Pedro
sejurus kemudian, sesaat setelah tawanya hilang, tapi tetap dengan senyum
paling lebar, seolah baru saja naik ke pelaminan.
“Trus,
apa hubungannya? Gak pake helm pun gue gak kenapa-kenapa.”
“Kalo
lu pake helm, lu gak akan ditampar.” Pedro kembali ngakak. Kali ini lebih
keras.
Rossi
ngeloyor masuk rumah.
***
“Sob,
kira-kira kenapa ya gue ditampar? Beberapa kali gue nabrak orang gak pernah ada
yang sampek nampar begitu. Paling banter ngomel atau ganti rugi. Gue kan cuma
nabrak kecil-kecilan.”
Pedro
mendengarkan dengan seksama dan dalam tempo yang lama. Karena, curhat Rossi
masih berlanjut. Ia tak berani ngakak lagi. Sebisa mungkin ia empet.
“Masak
gara-gara aku gak pake helm? Apa urusannya dengan dia? Kepala, kepala gue
sendiri. Kalaupun jatuh, gegar otak, terus mati, gue gak ngajak-ngajak dia. So what?”
“Sudahlah,
Bro! daripada bĂȘte mikirin itu terus. Yuk, kita jalan aja!”
“Kemana
kita?”
“Loh?
Masak lupa, malam ini kan final motoGP, kita nobar di tempat biasa.”
“Astagfirullah… cepetan, cepatan, kita
cabut.”
“Tumben
lu nyebut, Bro. Hihihi.” Rossi sudah keburu masuk rumah, ngambil kunci motor,
pake jaket, sarung tangan, dan…
Pedro
takjub. Temannya itu terlihat bak Valentino Rossi. Valentino Rossi yang
obesitas karena kebanyakan makan burger.
“Nah,
gitu dong. Pake helm demi keselamatan.” Pedro mengacungkan jempolnya, “Perlu
gue setirin?”
“Gak
usah.”
***
Jalanan
ramai. Padat merayap. Dengan sigap, Rossi masih memegang kemudi. Sekali-kali
meliuk bak ular, mencari space kosong.
Menyalip lagi, dari kanan, dari kiri, ngerem, tancap gas, tambah gigi persneling,
turunkan lagi. Beberapa kali Pedro terguncang ke belakang karna gas yang belum
dikecilkan waktu persneling diturunkan. Untung ia pegang erat, melingkar ke
perut Rossi.
“Tancaaappp,
bro!” teriak Pedro saat jalanan sudah lengang.
“Lega
rasanya. Seperti habis beol,” gumam Rossi. Ia tancap gas.
Pedro
bersorak riang.
Tujuh
puluh meter di depan Rossi, traffic light
menyala hijau. Tiga detik lagi akan berubah warna.
Rossi
menaikkan kecepatan, tapi di depannya ada mobil. Ia harus menyalip mobil itu. Traffic ligt sudah menyala oranye.
Rossi
terus melaju. Ia menerobos lampu merah. Dari arah kanan dan kiri kendaraan
sudah mulai bergerak. Tapi Rossi berhasil mendahului mereka, kurang dari
sedetik. Ia mendapat “hadiah” mendapat umpatan dari beberapa pengendara dan
bunyi-bunyi klakson panjang.
Rossi
cuma nyengir. Ia merasa puas. Pedro kembali bersorak. “Gile, keren lu, bro!”
***
Seru!
Valentino Rossi, jagoan Rossi, kini berada di posisi kedua. Salip menyalip
terus terjadi. Rossi tak henti-henti berteriak, sampai suaranya serak. Pedro
lebih tenang. Ia lebih menyukai menyeruput kopi sambil baca pesan whatsapp dari cewek barunya.
“Brengsekkk!!!”
Rossi memukul meja. Sebagian isi cangkir tumpah. Pedro yang lagi asyik nge-date online,
kaget.
Rupanya
Valentino Rossi disenggol pembalap di belakangnya. Keduanya jatuh, terguling di
aspal. Iu terjadi di lap terakhir. Valentino Rossi gak jadi juara, Rossi
dongkol. Saking dongkolnya sampai ia salah ngambil kopi, punya Pedro diteguk
sampai habis, seperti minum air mineral. Pedro hanya bisa bengong dan melongo.
Pulang
dari nonton, dengan malu-malu Pedro mengajak Rossi ketemu cewek barunya.
“Males.
Jagoan gue kalah.”
“Ayolah,
Bro! itung-itung refreshing. Katanya
dia bawa temen cewek yang gak kalah cantik. Siapa tahu bisa lu boyong.” Pedro
memelas sambil cekikikan.
Akhirnya
Rossi mengiyakan. Mungkin ia berpikir tawaran Pedro oke juga.
Rossi
langsung ngebut, menuju alun-alun. Di sana mereka ketemuan.
Tapi
seperti ada yang janggal, Pedro berpikir sejenak. “Hey, Bro! stop, stoopp!!!”
Ciiitttttt….
Rossi ngerem mendadak. “Apaan, lu?”
“Kemana
helm, lu, Bro?”
Rossi
lupa kalau ia gak pake helm. Mungkin karena sudah terbiasa, ditambah dongkol
yang gak habis-habis.
“Pasti
dicuri orang. Sudahlah gak usah dipikirin. Udah malem. Gak ada polisi.”
Pedro
kaget melihat reaksi Rossi yang biasa-biasa aja. Padahal itu kan helm mahal.
Padahal kemarin motornya kegores dikit aja dipikir setengah mati.
Rossi
kembali ngebut. Alun-alun masih lima kilometer lagi. Sebelah kanan jalan. Entah
mengapa Pedro yang biasanya bersorak-sorai firasatnya berubah gak enak.
“Pelan-pelan,
Bro. “
Rossi
malah ngakak dan menambah kecepatan motornya.
“Broooo!!
Gue belum nikaaahhh!”
Rossi
tak peduli. Ia tambah terus kecepatan motornya, “Alaah, sama, Sobb!!”
***
“Isi
bensin dulu, Sob!” kata Rossi sejurus kemudian.
50
meter sebelum pom bensin, Rossi ancang-ancang nyebrang kanan. Tak sadar, di
belakangnya, sepeda motor matic sedang melaju cukup kencang.
Braaaakkkk!! Tabrakan tak bisa dihindari. Rossi baru
ingat, tak menyalakan lampu sen. Empat orang terjatuh di aspal. Rossi, Pedro,
dan dua cewek yang naik matic. Mereka meringis kesakitan.
Rossi
Cuma lecet-lecet di betis kanan, celananya sobek, ngilu di tangan kanan. Untung
kepalanya gak membentur aspal. Pedro sebaliknya, helmnya retak tapi untung ia
selamat. Helm mebuat kepalanya tetap aman. Mereka segera membantu cewek yang
menabrak.
Rupanya,
cewek itu….
“Oh,
Merlin? Rossi, ini Merlin cewek saya,”
kata Pedro, sambil memapah ceweknya itu ke tepi. Sepertinya, kakinya agak
cedera serius.
Rossi
terpaku. Cewek itu. Cewek itu yang ia tabrak kemarin. Tapi ia tak yakin.
Sebelum
ia lebih keras berpikir, memutar memori, sebuah tamparan sudah mendarat di
pipinya. “Dasar lu ya, kemarin gak pake helm, sekarang juga gak pake helm. Gak
nyalakan lampu sen.”
Tapi
aneh, Rossi tak marah. Hanya malu tentu saja, tapi tak ada topi “MotoGP” untuk
menutupi wajah.
Rossi
seperti mendengar ada suara yang sedang diputar di kepalanya, kalo ketemu lagi gue pites lu. Atau gue
jadiin istri sekalian.
Lalu
dilihatnya sekilas, teman yang dibonceng Merlin. Benar-benar cantik. Entah
siapa namanya, yang jelas ia sedang menatap Rossi tajam, seakan-akan menghujaninya
dengan seratus pedang.
Sidoarjo,
1 November 2015
(Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen "Lomba Menulis Fiksi: Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan" #SafetyFirst kerjasama Yayasan Astra-Honda dengan Nulisbuku.com)
Pliss, rate and komen ya...
0 Response to "Rossi "
Posting Komentar