Ghirah
Itu adalah ucapan Kyai Haji Mas Mansur dalam Kongres
Muhammadiyah ke 21 di Makassar pada tahun 1932, yang sekaligus dijadikan
kalimat pamungkas oleh Hamka untuk menutup buku ini. Ya, Ghirah, orang Bugis
menyebutnya “Siri”. Sebagiannya tercermin dalam pepatah Melayu, “Daripada hidup
bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah”, atau pepatah Minang,
“Musuh jangan dicari-cari, bertemu pantang dielakkan” atau pepatah Madura,
“Lebbi bagus pote tolang atembang pote mata”.
Ghirah yang
pertama, Cemburu karena agama. Hamka menulis, “Sebab itu maka orang Indonsia yang
telah memeluk agama Kristen merasa dirinya lebih tinggi dan memang diperlakukan
lebih tinggi oleh Pemerintah Kolonial. itu pun tidak mengapa! Merasa tinggilah
engkau! Tetapi agama kami jangan dihinakan, jangan disinggung perasaan kami,
kalau kami tersinggung kami tidak tahu lagi apa yang musti kami kerjakan, kami
lupa kelemahan kami. Kami lupa tak bersenjata, kami mau mati tuan dan tuan
boleh tembak!
Tuanku Imam Bonjol bermaksud hendak
mengundurkan dirinya dari medan perang. tetapi
setelah melihat masjid diambil menjadi kandang kuda beliau tidak jadi
mengundurkan dirinya. Beliau menyentak pedangnya. Walaupun dia sudah tua! Tidak
dihitungnya lagi apakah dia akan kalah atau akan menang. Apakah dia akan hidup
atau akan mati. Tidakmelawan
itu yang mati.
Sebab tidak ada lagi ghirah! Orang Islam tidak fanatik! Tetapi dia pun tidak
pula dayust. Yaitu tebal kuping dan tebal muka (jika agamanya dihina)”
Ghirah yang kedua, cemburu karena istri atau saudara perempuan
“diganggu” orang. Kalau ada laki-laki yang istrinya serong dengan laki-laki
lain dan merasa biasa-biasa saja, maka kata Hamka, “Takbirkanlah empat kali,
alamat wafatnya. Kocong kafannya dan masukkan ke liang lahat!”
Termasuk dalam Ghirah juga bagaiman cemburunya seseorang jika ghazwul
fikri sudah mengacak-acak syariat, juga menyebabkan luasnya pergaulan bebas dan
freesex. Menunda pernikahan adalah salah satu sebabnya, jika dulu laki-laki
menikah saat berusia 20 tahun dan wanita berusia 12 atau 16 tahun. Sekarang,
laki-laki harus mengulur 5 tahun lebih lama bahkan tak sedikit yang baru
menikah saat memasuki kepala tiga. Imam Syafii saat mendapati anak laki-lakinya
tegang kemaluannya ketika sedang tidur, esok harinya ia mencarikan seorang
gadis untuk ia nikahkan dengan anak laki-lakinya itu.
Ghirah juga menyangkut kehormatan, harga diri, dan hak yang dirampas.
Sebuah hadis shahih yang diriwayatkan Abu daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah,
“Barang siapa terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka dia pun mati
syahid. Dan barangsiapa yang terbunuh karena mempertahankan darahnya, maka dia
pun mati syahid, dan barang siapa yang terbunuh karena mempertahankan agamanya
maka dia pun mati syahid dan barangsiapa yang terbunuh karena mempertahankan
keluarganya maka dia pun mati syahid”.
Hadis ini menerangkan kepada kita, bahwa setiap muslim
memiliki muru’ah, memiliki izzah, memiliki harga diri. Bukan terletak pada
kokohnya kita mempertahankan dunia, tapi bagaimana kita menegakkan yang haq dan
melawan kebathilan. Di Madura ada carok, yang penyebab utamanya seringkali
masalah tanah dan istri yang digondol lelaki lain. Jangan dikira ini adalah
budaya yang sadis, inilah ghirah. Yang celaka justru adalah ketika berdiam
diri, pasrah, atau bahkan biasa-biasa saja seperti yang lazim di zaman modern
saat istrinya diperlakukan semena-mena atau hartanya dijarah tanpa hak.
Hamka bercerita, seorang temannya bahkan sampai
meninggal dunia gara-gara menahan sesak dadanya akibat difitnah oleh saudaranya
seiman. Orang yang memiliki muru’ah akan tahu bagaimana bersikap saat
kehormatannya dicabik-cabik. Jika tidak, kembali saya mengulang ucapan Hamka,
“Takbirkan empat kali. Dan masukkan ke liang lahat!”
Rafif, 25 Juli 2015. 09.22 wib
Review Ghirah
dan Tantangan Terhadap Islam. Pustaka
Panjimas, C3,1985. 92 halaman. Karya Hamka
0 Response to "Ghirah"
Posting Komentar