Rumah Tangga Tanpa Cinta
Karena apa yang paling menyakitkan hati wanita ialah ketika ia mengetahui bahwa suaminya tidak mencintainya. (Anis Matta)
Maka cintailah ia, meski hanya
pura-pura. Tapi jika
kau tak bisa, jangan tampakkan kebencian di hadapannya. Perlakukanlah ia selayaknya, karena
memang di pundakmulah amanah dan tanggungjawab, sejak pertama kau lafalkan
perjanjian agung yang menggetarkan 'arsy
itu.
Sebagaimana kata Umar bin
Khattab, tidak semua pernikahan harus dibangun atas dasar cinta. Ada yang lebih besar daripada
cinta, ia adalah tanggung jawab. Ia adalah penghormatan atas kesucian janji. Ia adalah seperti kisah Abu Utsman
Al-Naisaburi yang diceritakan oleh Ibnu Al Jauzy dalam "Shaid
Al-Khatir", ketika ia (Abu Utsman) ditanya, "Amal apakah yang sering
engkau lakukan dan paling diharapkan pahalanya?" Maka ia pun bercerita,
tentang kehidupan rumah tangganya. Tentang seorang wanita yang datang melamarnya, seorang miskin
yang baru ia ketahui tenyata tak sempurna fisiknya setelah akad. Wanita itu, kata
Abu Utsman, berwajah jelek dan buruk, matanya juling. Akan tetapi ketulusan
cintanya membuatku bergeming, aku duduk menyambutnya tanpa ekspresi, menahan
kuat-kuat rasa marah dan benci.
Maka tahukah engkau bagaimana
Abu Utsman mengakhiri kisahnya? "Begitulah kulalui 15 tahun dari hidupku
bersamanya, hingga akhirnya ia wafat. Maka tiada amal yang paling kuharapkan
pahalanya di akhirat, selain dari masa-masa 15 tahun dari kesabaran dan
kesetiaaanku menjaga perasaan, dan ketulusan cintanya."
***
Kisah Abu Utsman ini adalah teguran kepada
siapapun yang menganggap bahwa cinta adalah segala-galanya. Bahwa cinta adalah
sebuah keharusan untuk membangun rumah tangga. Padahal, pernikahan tak selalu
membutuhkan cinta.
Ada pernikahan yang dibangun atas dasar cinta.
Keduanya saling mencintai, kemudian memutuskan menikah. Tetapi ada pula yang
sebelumnya bahkan tak saling mengenal juga memutuskan untuk menikah, entah
karena dijodohkan atau karena keinginan dirinya sendiri. Keduanya memulai
dengan cara yang berbeda, dan liuk-liku perjalanan rumah tangga mereka pun tak
selalu sama.
Belum tentu yang awalnya menikah tanpa rasa
cinta, rumah tangganya akan mudah goyah diterpa badai. Bisa jadi cinta hadir di
tengah perjalanan, atau bahkan sesaat setelah ijab qabul dilaksanakan. Tapi
bukan tidak mungkin pula, cinta yang menyala tak kunjung hadir bersemi di hati
mereka.
Sebaliknya, rumah tangga yang dibangun karena
rasa saling mencintai bukan mustahil akan mengalami masa-masa sulit ketika
cinta justru menjadi penyebab perpisahan yang berderai-derai.
Jadi cinta,
bukanlah ukuran kebahagiaan, keharmonisan, kelanggengan pernikahan. Tetapi
tanggungjawablah yang menjadikan suami-istri bertahan. Tanggung jawab, kata Astu kepada Kashva dalam
Muhammad Lelaki Penggenggam Hujan,
adalah perwujudan cinta yang seutuhnya. Karena tanggung jawab yang menjadikan
seorang suami melaksanakan kewajiban dan memelihara hak-hak istrinya, tanggung
jawab pula yang menjadikan seorang istri dengan tulus ikhlas berbakti pada
suaminya. Jika menyadari secara penuh bahwa suami atau istri adalah amanah dari
Allah, dan kelak Allah akan meminta pertanggungjawabnya.
Cinta
hanyalah cara, bukanlah tujuan sebuah pernikahan. Jika salah menakar dan
memosisikannya, tak jarang cinta justru menjadi penyebab kehancuran, sebagaimana
firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 24: “Katakanlah, jika bapak-bapakmu,
anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu,
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu
khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih
kamu cintai daripada Allah dan RasulNya serta berjihad di jalanNya, maka
tunggulah sampai Allah memberikan keputusanNya. Dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang fasik.”
Cinta kepada pasangan yang berlebihan, seringkali
menjadikan kita lalai dari mencintai Allah. Bahkan melakukan apapun yang
diminta pasangan meski bertentangan dengan perintah Allah. Inilah yang saya
maksud dengan kehancuran itu.
Hanya bila,
kita bisa mengelola cinta dengan baik, cinta akan mendatangkan keberkahan. Dan
cinta jenis ini membutuhkan perjuangan. Perlu energi besar, sebagaimana
Rasulullah mencintai Khadijah. Inni
qad ruziqtu hubbaha.
Sungguh, saya telah dikarunia energi yang besar untuk mencintainya, kata
beliau. Sebuah
energi cinta yang mengalir sepanjang hidup beliau, bahkan meski sang istri
tercinta itu telah tiada. (@RafifAmir)

(Dimuat di Majalah SQ Edisi Februari 2016). Bagi yang ingin mendapatkan majalah ini atau menjadi donatur Yayasan Dompet Al-Quran Indonesia (DeQI), sebuah lembaga sosial yang berfokus untuk menyantuni anak yatim penghafal Qur'an, bisa menghubungi saya atau situs resminya www.dompetalquran.org
(Dimuat di Majalah SQ Edisi Februari 2016). Bagi yang ingin mendapatkan majalah ini atau menjadi donatur Yayasan Dompet Al-Quran Indonesia (DeQI), sebuah lembaga sosial yang berfokus untuk menyantuni anak yatim penghafal Qur'an, bisa menghubungi saya atau situs resminya www.dompetalquran.org
2 Responses to "Rumah Tangga Tanpa Cinta "
So deep. Terasa terbawa bacanya :)
Menikahi orang yang dicintai itu pilihan, tapi mencintai orang yang dinikahi itu kewajiban (Salim A Fillah)
Mantap, mas syamsul :)
Posting Komentar