Menulis, Mengukir Peradaban (Radar Surabaya, 23 Oktober 2011)
"Tuan, sebutir pelurumu yang
nanti menembus kepalaku hanya akan membunuhku. Tapi tulisan dan buah pikiranku
akan menembus ratusan, ribuan, jutaan kepala orang."
Kata-kata itu bukan keluar dari lisan orang sembarangan, tapi terucap dari
lisan agung seorang ulama besar dengan karya fonumenalnya, Fi Zhilalil Quran. Sayyid
Qutb, begitu ia
disebut. Kata-kata itu
sendiri lahir saat ia menghadapi detik-detik terakhir eksekusi mati.
Adalah Sinta Yudisia, seorang penulis Forum Lingkar Pena (FLP) Jawa Timur,
yang menjadikan kalimat 'sakti' sayyid Qutb itu sebagai motivasi bagi
perjalanan dakwah penanya. Lebih dari
empat puluh buku telah ia tulis dalam waktu singkat, seakan mengatakan bahwa
menulis adalah kebutuhan tak terelakkan sepanjang nafas kehidupan.
Sejatinya, bukan hanya Sinta, bukan
hanya Helvy Tiana Rosa, bukan hanya Habiburrahman El-Shirazy,
bukan hanya Asma Nadia yang berhak dan layak untuk mewarisi generasi para da'i
terdahulu, melestarikan dan melaksanakan wasiat tersirat Sayyid Qutb di akhir
hayatnya. Semua orang
punya hak, layak, dan bisa melakukannya!
apalagi yang mengaku sebagai du'at qobla
syai'in.
Tidak hanya Sayyi Qutb, bahkan
seorang sahabat Nabi yang sering dijuluki gudang ilmu, Ali bin Abi Thalib ra.
pernah berkata, "Ikatlah ilmu dengan menuliskannya." Kali ini,
kalimat sakti itu menjadi bahan bakar Hernowo untuk merangkai hidup dengan
jalinan kata-kata. Lalu muncul Ibnu Sina dikalangan profesional yang juga
menulis. Imam Bukhori dan Imam Muslim dengan Shahihnya yang menjadi rujukan
utama kitab-kitab hadist. Berikutnya
muncul nama Imam Ghazali dengan karyanya yang tak lekang zaman, Ihya' Ulumuddin. Hasan Al-Banna dengan Risalah Ta'alim dan puluhan kitab
referensi dakwah pergerakan lainnya. Sa'id Hawa, Fathi yakan, Aidh Al-Qarni,
Ustadz Rahmat Abdullah, dan ulama mutakhirrin lainnya.
Sebagian yang saya sebutkan mungkin
ada yang sudah meninggal, tapi ia meninggal dengan meninggalkan jejak abadi
yang bisa dibaca bahkan oleh para cucu dan generasi kesekian dari
mereka.Tulisan-Tulisan itu akan menjadi cahaya, menjadi pahala yang senantiasa
mengalir, tak pernah habis sebelum kiamat datang.
Peradaban Islam, kata Abdullah
Azzam, diukir oleh dua hal; hitam tinta para ulama dan merah darah para
syuhada. Keduanya
bersinergi mengguncang dunia, memecah simpul -simpul zalim yang mengikat
kejayaan Islam sekian lama. Jika tak ada
ruang untuk memilih diantara keduanya, maka melaksanakan keduanya adalah puncak
kemuliaan. Namun memilih
satu diantara dua juga bukanlah sebuah kesalahan. Seperti Imam
Ahmad yang memilih syahid di tengah penguasa penganut mu'takzilah dan Imam Syafi'i yang memilih meninggalkan negeri
Bagdad menuju mesir demi sebuah tujuan pelestarian ilmu.dari tangannyalah
kemudian lahir karya-karya besar yang menyejarah.
Saya percaya, hakikatnya
semua bisa menulis. Karena
menulis tak butuh bakat, ia hanya butuh tekad dan kemauan. Menulis
hanyalah pekerjaan 'mengikat' ilmu yang didapat dari penggalan kehidupan,
membaca peristiwa, atau mengungkap makna dari kata-kata. menulis semudah
berbicara, karena ia menangkap gerak jiwa tanpa menyertakan lisan. bedanya,
dakwah dengan lisan akan segera selesai begitu ceramah atau taujih usai, namun
tulisan tetap bisa dibaca berulangkali kapan dan dimanapun.
Saya teringat
beberapa hal yang sering diungkapkan penulis dalam beberapa kesempatan.
"saya merasa ada yang menggerakkan tangan saya ketika menulis",
"Saya meminjam tanganNya untuk menulis". Maka tak
heran jika kemudian tulisan-tulisan itu menjadi cahaya dan penulisnya adalah
para penebar cahaya. Allah menolong mereka untuk menghasilkan karya yang luar
biasa, karya yang menggugah dan mengubah hidup. Ada
gerak-gerak gaib yang turut menggerakkan pena para penulis untuk sampai pada
cahaya; kata-kata bercahaya.
*Penulis,
Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Sidoarjo
0 Response to "Menulis, Mengukir Peradaban (Radar Surabaya, 23 Oktober 2011)"
Posting Komentar