Perempuan-Perempuan Cahaya
Perempuan adalah tulang punggung zaman, adalah tulang
punggung peradaban. Dari rahim merekalah lahir generasi-generasi terbaik.
Bersama merekalah tampil pahlawan-pahlawan agung yang mengukir sejarah dengan
tinta emas.
Berabad-abad silam, kita menyaksikan bagaimana ketika
sebuah bangsa, ketika sebuah peradaban menistakan perempuan. Jahiliyah Arab
yang mengubur anak-anak perempuan hidup-hidup, Tiongkok di abad yang sama
melemparkan perempuan-perempuan ke tengah laut atas perintah berhala-berhala
yang mereka sembah. Di Rodiput India tak kalah jahiliyahnya, 30.000 perempuan
dipanggang dalam api dan 3000 anak perempuan dibenamkan hidup-hidup dalam
tanah. Di Yunani lebih parah lagi, istri-istri yang menolak diperkosa di
hadapan massa dipaksa menenggak racun mematikan. Kita lihat bagaimana mereka
menghancurkan diri mereka sendiri dengan kekejaman tak terperi terhadap
perempuan.
Maka Islam hadir di tengah-tengah kejahiliyahan total
yang melanda umat manusia saat itu. Seperti cahaya, Islam datang dengan
memuliakan perempuan, menempatkannya dalam derajat yang tinggi, bahkan menjadi
nama salah satu surat dalam Al-Qur’an, An-Nisa’. Orang pertama yang mengetahui
dan mengakui turunnya risalah dienul
Islam pun adalah seorang perempuan. Perempuan agung yang diabadikan sejarah,
dialah sayyidah Khadijah ra, istri pertama Rasulullah saw. Beliaulah yang
menyelimuti sang musthafa saat pulang
dari gua Hira dengan tubuh gemetar dan menenangkan dengan
kata-kata,”Bergembiralah, sungguh, Allah Swt tidak akan pernah menghinakan dan
membiarkanmu. Sungguh demi Allah, engkau adalah orang yang suka menyambung tali
persaudaraan, selalu berkata benar, menyampaikan amanah, membantu orang yang
membutuhkan, memuliakan tamu, dan membantu orang yang terkena musibah.”
Beliaulah yang telah Allah janjikan sebuah istana yang terbuat dari permata di
surga.
Aisyah
ra
Sepeninggal Khadijah ra, Rasulullah menikahi Aisyah ra.
Beliau dikenal sebagai perempuan cerdas, bicaranya fasih dan penuh hikmah, ahli
sastra, dan kuat hafalannya. Tak heran beliau termasuk salah satu yang paling
banyak meriwayatkan hadist dari Rasulullah saw. Sayyidah Aisyah ra adalah istri
yang sangat dicintai oleh Rasulullah saw, yang Rasulullah menyapanya dengan
“Ya, Humaira!” (wahai yang pipinya kemerah-merahan). Suatu ketika, saat terjadi
peristiwa haditsul ifki, saat
perempuan yang pernah hadir dalam mimpi Rasulullah sebelum kelahirannya ini
dituduh selingkuh dengan laki-laki lain, Allah sendiri yang membantahnya
melalui wahyu yang diturunkan kepada Al-Amin, Muhammad Saw.
Aisyah ra, tidak hanya memancarkan kecantikan lahir
sebagaimana ibunya, Ummu Ruman, tetapi juga kecantikan batin yang tidak semua
perempuan memilikinya. Termasuk bagaimana sikapnya ketika menjelang ajal, Umar
bin Khattab meminta dirinya dikuburkan di dekat Rasulullah, Aisyah ra berkata,
“Sesungguhnya aku ingin menggunakan tempat itu untuk menguburkan jasadku
sendiri nanti. Namun hari ini, aku rela menyerahkannya untuk tempat pemakaman
Umar.”
Asma’
Binti Abu Bakar
Ia adalah putri sahabat terbaik Rasulullah, Abu Bakar
Ash-Shiddiq ra. Menikah dengan salah satu sahabat Rasulullah yang dijamin masuk
surga pula, Zubair bin Awwam. Asma’ dijuluki sebagai Dzat An-Nithaqain, artinya yang mempunyai dua pita. Sebab di malam ketika
Rasulullah hendak hijrah bersama Abu Bakar, ia membelah pita miliknya menjadi
dua bagian untuk diikatkan pada meja makan. Kemudian Rasulullah berdo’a,
“Semoga Allah swt mengganti pitamu ini dengan dua pita di surga.” Selain
dermawan, Asma’ dikenal sebagai perempuan yang sabar dalam menghadapi ujian.
Wafatnya Rasulullah, menyusul ayahnnya, Abu Bakar. Kemudian suaminya, Zubair
bin Awwam. Lalu putranya, Abdullah bin Zubair, tak membuat hatinya goncang dan
berpaling dari kebenaran.
Asma’ juga dikenal perempuan pemberani dan jujur
sekaligus ibu yang menginspirasi dan memberikan cahaya. Ia berkata di saat
putranya hendak berangkat berperang, “Wahai putraku, kamu lebih tahu tentang
dirimu. Jika kamu mengetahui bahwa kamu dalam kebenaran, maka teruskanlah berjuang
bersama para pengikutmu melawannya. Tetapi jika kamu hanya menginginkan
kehidupan dunia, maka sungguh kamu adalah orang yang paling buruk, kamu telah
menghancurkan dirimu dan orang-orang yang berjuang bersamamu!”
Ummu
Sulaim ra
Beberapa sejarawan menyebutnya, Rumaisha. Seorang
perempuan cerdas yang dikenang sejarah. Kisahnya yang mahsyur adalah saat ia
dipinang oleh seorang hartawan bernama Abu Thalhah, ia menolak dengan tegas
karena saat itu Abu Thalhah belum memeluk Islam. Ia berkata kepada Abu Thalhah,
“Wahai Abu Thalhah, demi Allah, bahwasanya aku mencintaimu, bagaimana mungkin
orang sepertimu layak ditolak pinangannya. Akan tetapi engkau harus tahu dan
menyadari bahwa engkau lelaki kafir sedangkan aku seorang wanita muslimah. Jika
engkau masuk Islam, maka itulah maskawinku dan aku tidak meminta kepadamu
selain darinya.” Masya Allah, Inilah
mahar paling indah yang dicatat sejarah. Setelah masuk Islam, Abu Thalhah pun
menikahinya. Keduanya hidup berbahagia sampai pada sebuah malam ketika Abu Thalhah
pulang ke rumah selepas mencari nafkah, Ummu Sulaim melayani suaminya itu
dengan penuh cinta hingga terpuaskan lahir dan batin, lalu ia dengan ketenangan
paling teduh menyampaikan pada Abu Thalhah, bahwa putranya telah dipanggil
Allah. Betapa marah dan terkejut Abu Thalhah sehingga ia mengadukan hal ini
pada Rasulullah, akan tetapi Rasulullah justru tersenyum dan mendoakan
keberkahan bagi keluarga mereka. Benar saja, dari rahim dan keturunan Ummu
Sulaim kelak lahir ulama-ulama penghafal hadist dan Al-Qur’an.
Fatimah
Az-Zahra
Siapa tak mengenal Fatimah binti Muhammad Saw? Ia juga
adalah istri sahabat terbaik Rasulullah, Ali bin Abi Thalib ra. Ialah pemimpin
para perempuan penghuni surga. Dari rahimnya lahir cucu-cucu kesayangan
Rasulullah, Hasan dan Husein, yang keduanya juga adalah pemimpin para pemuda
penghuni surga. Fatimah Az-Zahra adalah sosok perempuan yang memiliki kesabaran
luar biasa. Hidup sederhana dengan sang suami tak pernah menuntut kemewahan
dunia. Bahkan di tengah kehidupannya itu, kedermawanannya begitu mengagumkan.
Suatu ketika, ia membeli seorang hamba sahaya dengan kalung miliknya, lalu
memerdekakannya.
Fatimah Az-Zahra, perempuan yang menyaksikan langsung
bagaimana di saat awal-awal risalah turun, saat Rasulullah dihina, dan
orang-orang Quraisy melemparkan pelepah kurma ke atas punggung Rasulullah yang
sedang sujud lalu ia (Az-Zahra) memungut pelepah kurma itu dan membentak
orang-orang kafir yang telah berbuat aniaya. Kini, ketika Rasulullah wafat, ia
merasakan kesedihan yang berat. Jika para sahabat menangisi kepergian
Rasulullah sebagai sahabat dan manusia yang diutus Allah menyampaikan risalah,
maka bagaimana dengan seorang putri yang sekaligus laki-laki yang paling
dicintai? Enam bulan setelah wafatnya Rasulullah, Fatimah Az-Zahra pun menyusul
menghadap Allah.
Demikian, sungguh betapa banyak kisah
perempuan-perempuan dengan pribadi bercahaya yang memancarkan cahayanya pada
orang lain. Sehingga mungkin tak akan pernah cukup tulisan singkat ini untuk
menampungnya, tak akan pernah selesai tinta untuk menulisnya, tak akan pernah
habis kata-kata untuk melukiskan keagungannya.
Maka beruntunglah bagi siapa pun yang dekat dan hidup
bersama perempuan-perempuan cahaya, semoga Allah menjadikan kita sebagai salah
satunya.
dimuat di Majalah SQ edisi Maret 2016
0 Response to "Perempuan-Perempuan Cahaya"
Posting Komentar