Satu Menit Menuju Kaya
Bisakah kita menjadi kaya hanya dalam waktu semenit? Sebelum
itu kita jawab, marilah kita merenungi kembali apa itu kaya? Dan mengapa kita
ingin kaya? Seseorang akan menjawab, “Kita ingin kaya karena kita ingin
bahagia.” Benarkah?
Jika harta menjadi ukuran kekayaan, mengapa banyak orang
kaya yang tidak bahagia?
Marilah kita simak perkataan seorang bijak bernama Luqman
Al-Hakim ketika suatu hari ditanya, "Siapakah orang yang paling
baik?" Ia menjawab, "Orang yang kaya." Jawaban yang menimbulkan
tanda tanya. Adakah hubungan antara kebaikan dan kekayaan?
"Apakah kaya dari harta?" tanya orang itu
penasaran.
"Bukan, akan tetapi orang kaya adalah orang yang
apabila ia diminta dan ia mempunyai harta maka ia memberikannya, sedangkan jika
ia tidak mempunyai harta, maka ia tidak meminta orang lain."
Stop. Berhenti sejenak. Ada baiknya kita
menarik napas panjang-panjang terlebih dahulu, kemudian hembuskan perlahan.
Kita baca ulang petuah bijak Luqman Al-Hakim yang terakhir. Perlahan. Tidak
usah tergesa-gesa. Adakah kita telah memahami maknanya? Jika belum, mari saya
ajak menyimak satu kisah nyata, yang barangkali bisa menjadi contoh dari
penjabaran hakikat kaya menurut Luqman Al-Hakim itu.
Seorang dokter yang pernah menjadi relawan di Palestina pada
suatu kesempatan pernah bercerita, "Hanya satu kali saya menemukan
peminta-minta." Beliau pun menuturkan bahwa pernah bertemu seorang anak
kecil penjual makanan. Saat hendak diberi uang cuma-cuma, anak kecil itu menolak
kecuali ia menjual makanan dengan harga yang pantas. Bahkan ia menolak ketika
akan diberi uang lebih.
Kita mungkin mengira bahwa bocah Palestina tersebut miskin,
karena selama ini paradigma yang kita bangun kekayaan selalu dikaitkan erat
dengan materi, tetapi sejatinya ia kaya! Ia telah berhasil menanamkan dirinya
sikap “menerima apa adanya”, ia memiliki mental pejuang, bukan peminta-minta.
Berbeda halnya dengan yang sering kita lihat di Indonesia,
pengemis memenuhi jalanan, emperan toko, bahkan tempat ibadah. Padahal fisik
mereka sehat, sempurna tanpa cacat. Tapi mereka memilih menjadi orang miskin;
menjual harga diri demi materi. Mereka enggan berlelah-lelah menjemput rezeki
yang pasti dan telah ditetapkan atas mereka.
Inilah potret buram negeri ini, bahkan ada kisah nyata yang
sempat mencuat di media massa, seorang peminta-minta yang setiap harinya tidur
pulas di hotel berbintang. Sungguh, demikian yang akan terjadi jika kekayaan
hanya dimaknai melimpahnya materi.
Belum lagi angka korupsi yang tak terkendali, menunjukkan
dengan jelas bahwa kita memahami kekayaan sebagai keberlimpahan tanpa batas.
Maka diadakanlah survey siapa-siapa saja orang terkaya di Indonesia. Harta
mereka yang trilyunan rupiah barangkali bisa diwariskan hingga generasi ke-7
anak cucu mereka, akan tetapi sudah seberapa banyakkah pula mereka mewariskan
kebaikan dan nilai-nilai kekayaan yang sebenarnya?
Baiklah, kita berhenti sejenak. Lagi-lagi untuk menghirup
napas dalam-dalam, kemudian kita hembuskan perlahan. Sudah seberapa banyakkah
kita memberi?
Tidak usah berpikir muluk-muluk dengan membayangkan memiliki
uang milyaran untuk sebagiannya digunakan untuk membangun tempat ibadah yang
megah, atau berkhayal membagi-bagikan mobil mewah pada tetangga kana-kiri kita.
Tidak perlu pula harus menjadi seperti Bill Gates untuk menyumbangkan separuh
hartanya bagi kemanusiaan, sehingga dengan demikian lebih banyak lagi orang
yang tertolong.
Cukup pikirkanlah bagaimana harta yang kita miliki saat ini
tidak hanya menjadi konsumsi pribadi. Memberi tidak perlu menunggu harta kita
melimpah, bahkan ketika kita hanya memiliki sebulir padi pun, pernahkah kita
berpikir untuk memberikan separuhnya kepada saudara kita yang lain? Yang bahkan
mungkin tak memiliki apa-apa sama sekali.
Inilah hakikat memberi yang merupakan ciri utama orang-orang
kaya. Ia akan selalu merasa gelisah ketika harta yang ada pada dirinya belum
tertunaikan sebagiannya untuk orang lain. Karena ia meyakini bahwa dalam setiap
harta yang ia dapatkan, meskipun secara halal, di dalamnya ada hak-hak orang
lain yang membutuhkan.
Orang-orang kaya seperti itulah yang menyadari sepenuhnya
bahwa tujuan hidup bukan untuk menumpuk harta, tetapi hidup adalah pengabdian
untuk yang Maha Menciptakan. Harta hanya salah satu sarana untuk mencapai
tujuan. Maka cukuplah setidaknya harta itu untuk mengganjal lapar dan hal lain
yang mendekatkan kita pada tujuan hidup itu, lalu sisanya kita sisihkan untuk
saudara kita yang lain.
Kata
Robert G. Ingersoll, Sedikit orang kaya yang memiliki harta. Kebanyakan harta
yang memiliki mereka. Ya! Pada akhirnya harta terkadang menjadi musabab
kehancuran seseorang. Sudah sering kita lihat dan dengar, banyak orang yang
“kaya” secara materi tetapi kehidupannya berakhir dengan tragis: bunuh diri.
Sudah banyak pula kita saksikan orang-orang yang menjadi budak harta. Setiap
hari ia bekerja untuk mengumpulkan harta hingga seakan-akan hidupnya hnaya
untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, tetapi kemudian ia lupa bahwa ia
belum sempat menikmati harta yang dimilikinya. Kesibukannya memburu dunia
membuat ia tidak punya banyak waktu untuk menikmatinya.
Di
akhir tulisan ini saya perlu menekankan kembali bahwa bukan berarti dengan
menulis hal ini saya adalah orang yang phobi atau melarang orang untuk kaya
secara materi. Akan tetapi saya hanya ingin mengajak kita semua merenung bahwa
bukan itu kekayaan yang sesungguhnya. Jika harta kita yang banyak membuat kita
tetap tenang menjalani hidup, tetap merasa ringan untuk berbagi, tetap
menjadikan dunia dan harta bukan sebagai tujuan hidup dan menyadarinya tak
lebih hanya sebagai “kendaraan” maka itu baik. Sangat baik.
Namun
demikian, jika ada orang yang dianugerahi harta pas-pasan, ia tetap bisa
menjadi karya, ia kaya secara hakiki bukan maknawi. Oleh karena itu, setiap
orang di dunia ini bisa menjadi kaya, baik yang berada atau kurang berada, asal
ia mau merenung lantas bersegera memperbaiki diri; memperbanyak memberi dan
menjaga harga diri dengan tidak meminta-minta. Dan untuk melakukan itu, kita
tak butuh waktu bertahun-tahun dengan cara menumpuk harta. Kita bisa
melakukannya hanya dalam semenit saja. Bahkan mungkin kurang dari itu.
Nah,
sudah tahu rahasia kaya dalam satu menit, kan?
(Dimuat di Majalah SQ Edisi April 2016). Bagi yang ingin mendapatkan majalah ini atau menjadi donatur Yayasan Dompet Al-Quran Indonesia (DeQI), sebuah lembaga sosial yang berfokus untuk menyantuni anak yatim penghafal Qur'an, bisa menghubungi saya atau situs resminya www.dompetalquran.org
Baca Juga: Tips Tetap Kaya di Tanggal Tua
Baca Juga: Tips Tetap Kaya di Tanggal Tua
0 Response to "Satu Menit Menuju Kaya "
Posting Komentar