Anakku Jatuh Cinta
“Ya Rasulullah, izinkan saya
berzina.” Seorang pemuda mengatakan itu di hadapan Rasulullah SAW dan para
sahabat. Beberapa dari sahabat memarahinya, sementara Rasulullah tetap tenang
dan berkata, “Mendekatlah.”
Pemuda itu mendekat dan bersabda
junjungan kita tercinta,”Relakah kau jika itu terjadi pada ibumu?” Pemuda itu
menjawab,”Demi Allah, sekali-kali tidak Ya Rasul!”
“Relakah kau jika itu terjadi pada
saudara perempuanmu?” Rasulullah kembali bertanya.
“Demi Allah, sekali-kali tidak Ya
Rasul!”
“Relakah kau jika itu terjadi pada
bibimu?”
“Demi Allah, sekali-kali tidak Ya
Rasul!”
“Maka demikianlah. Orang lain pun
tidak suka jika itu menimpa keluarga mereka.” Begitulah Rasulullah menasihati
Si Pemuda, sebelum menutupnya dengan doa. Beliau letakkan tangannya di dada
pemuda itu dan berkata, “Ya Allah, ampunilah dosanya, bersihkanlah hatinya, dan
peliharalah kemaluannya.”
Sejak saat itu, Si Pemuda membenci
segala hal yang mendekatkannya pada zina.
***
Masa muda, apalagi remaja adalah
saat-saat buah hati kita mulai mengenal cinta lawan jenis. Di saat yang sama
pula, kematangan berpikir mereka mulai terasah. Ketertarikan terhadap lawan
jenis adalah hal yang lumrah. Namun bagaimana agar cinta itu tak berbuah
petaka, itulah yang harus kita pikirkan bersama.
Mencintai adalah fitrah manusia.
Namun bagaimana agar fitrah itu tetap berada di jalurnya, itu yang menjadi pe
er bagi para ibu dan ayah. Memarahi anak habis-habisan lantaran mendapati
mereka sedang jatuh cinta bukanlah sikap yang bijak. Namun membiarkan mereka
mengekpresikan rasa cinta sebebas-bebasnya juga sangat tercela.
Lantas bagaimana menyikapinya?
Pertama, tanyakan pada diri kita,
sudahkah kita menanamkan nilai-nilai agama dalam diri mereka? Sehingga mereka
tumbuh menjadi pemuda yang cintanya kepada Allah melebihi segalanya. Karena
kata Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam,
“Tidak ada yang bisa mengusir syahwat atau kecintaan pada kesenangan duniawi
selain rasa takut kepada Allah yang menggetarkan hati atau rasa rindu kepada
Allah yang membuat hati merana.”
Kedua, sebagaimana yang dilakukan
oleh Rasulullah dalam kisah di atas. Ajaklah mereka berdialog. Masa muda adalah
saat energi dan pikiran dalam kondisi prima. Mereka sudah bisa menimang baik
dan buruk. Hanya saja tetap perlu diarahkan. Jika mereka bersedia untuk curhat,
itu akan lebih baik. Dengarkan dan berusahalah untuk memahami. Bukankah dulu
kita juga pernah menjadi remaja?
Ketiga, cari tahu penyebabnya.
Apakah cinta itu tumbuh karena fisik dan kedekatan semata, karena faktor
kesamaan hobi dan pemikiran, atau yang lainnya. “Orang yang mencintaimu karena
satu alasan,” kata Ibnu Hazm Al-Andalusi dalam Thuq Al-Hamamah, “akan berpaling darimu seiring dengan hilangnya
alasan itu.” Maka begitu mudah cinta mereka nantinya akan luntur ketika
sebab-sebab mencintai itu hilang. Jelaskan perihal ini kepada mereka secara
perlahan.
Keempat, yang terpenting adalah:
biarkan mereka jatuh cinta, merasakan degup-degup yang indah itu. Hanya saja
usahakanlah agar cinta itu tidak diungkapkan dan diekspresikan dengan
perbuatan. Karena jikalau keduanya telah sama-sama tahu bahwa mereka saling
mencintai, maka semakin mudah bagi setan untuk memasukkan mereka pada perangkap
berikutnya. Aktivitas-aktivitas yang mendekati zina atau kita kenal dengan
istilah, pacaran.
Barangkali Hadis riwayat Al-Hakim
ini bisa menjadi penyemangat bagi mereka, “Barangsiapa yang jatuh cinta, lalu tetap
menjaga kesucian dirinya, menyembunyikan rasa cintanya dan bersabar hingga
mati, maka ia mati syahid.”
Sinta Yudisia, psikolog sekaligus
penulis, mengatakan, “Boleh-boleh saja jatuh cinta asal tidak tenggelam dalam
lautan kenistaan.” Tegasnya, jatuh cinta tidaklah dilarang tetapi hal-hal yang
merenggut kesucian cinta itulah yang mestinya dihindarkan.
Memang, itu semua tidaklah mudah.
Apalagi dengan gempuran produk-produk teknologi yang membuat sekat antara
seseorang dengan yang lainnya menjadi sangat tipis. Hanya melalui media sosial,
sepasang remaja berkenalan lalu menjalin cinta hingga hamil. Belum lagi
konten-konten pornografi yang semakin mudah diakses, membuat para orangtua
harus lebih ekstra mendampingi dan mengawasi sang buah hati.
Karena semua bermula dari
pandangan, turun ke hati, menjadi kehendak, lalu perbuatan. Jika sudah
terlanjur terjadi, hanya penyesalanlah yang ditangisi.
Jangan
Padamkan Nyalanya dengan Tiba-Tiba
“Cinta terasa baru benar-benar
membakar ketika pesan kaudengar: padamkan nyalanya!” demikian kata Sapardi
Djoko Damono dalam Puisi Sonet 4.
Salah satu yang membuat cinta
menjadi kobaran api raksasa adalah suatu sebab seseorang atau sesuatu berusaha
memadamkan nyalanya secara tiba-tiba, sekaligus, dan frontal. Cinta tidak akan
padam dengan cara demikian. Ia justru akan semakin berkobar dan melalap ruang
kesadaran.
Maka yang terjadi sebagaimana kisah
Romeo-Juliet atau Qais dan Laila. Ketika cinta mereka dihalangi, kobaran cinta
semakin tak terbendung. Dan itu terasa sangat menyiksa. Mereka bisa melakukan
apa saja untuk keluar dari penderitaan itu. Sehingga tak jarang kita mendengar
mereka yang bunuh diri karena cintanya tak direstui, atau mereka yang nekat
kabur berdua entah ke semenanjung mana.
Seorang teman bercerita tentang
adiknya yang jatuh cinta dengan seorang gadis. Mereka menjalin hubungan
sebagaimana layaknya muda-mudi. Tapi ibunya tidak setuju. Lantas berbagai upaya
dilakukan untuk memisahkan mereka. Mulai dengan cara dimarahi hingga, naudzubillah, datang ke dukun. Yang
terjadi malah, adik teman saya itu berkali-kali jatuh sakit dan tetap tidak mau
meninggalkan gadis pujaannya.
Masya
Allah. Sekali lagi para ayah dan ibu,
bekalilah anak-anak kita sejak dini dengan nilai-nilai agama. Ia akan menjadi
benteng pertama dan terakhir agar mereka selamat dari jebakan cinta palsu,
cinta yang menipu daya, yang menghancurkan.
Doronglah mereka untuk aktif hadir
dalam majelis-majelis ilmu, aktif berorganisasi, aktif mengembangkan minat dan
bakat mereka. Sehingga mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang mukmin,
cerdas, dan berakhlakul karimah.
Kisahkan pada mereka tentang kisah
cinta Ali pada Fatimah dan cinta Fatimah pada Ali. Cinta yang tersembunyi rapi
di hati, sampai kelak Allah menakdirkan mereka hidup bersama sebagai sepasang
kekasih melalui sebuah janji yang menggetarkan arsy, mitsaqan ghalizha.
Ceritakanlah bagaimana di malam
pertama itu Fatimah berkata pada suaminya, “Wahai suamiku, tahukah engkau bahwa sesungguhnya sebelum aku
menikah denganmu, aku telah lama mengagumi dan memendam rasa cinta kepada
seorang pemuda. Aku merasa pemuda itu pun memendam rasa cintanya untukku.”
Dan
pemuda itu adalah Ali bin Abi Thalib, suaminya di dunia dan akhirat, insya
Allah.
Maka
jika mereka, anak-anak kita itu, telah matang dan sanggup memikul amanah. Jika
mereka telah ba’ah, nikahkanlah
sebagaimana Rasulullah menikahkan Ali dengan Fatimah. Karena hanya inilah
puncak terindah dari dua orang yang saling mencintai. Pernikahan yang berkah,
yang menyelamatkan, yang menentramkan.
(Dimuat di Majalah SQ Edisi Februari 2017). Bagi yang ingin mendapatkan majalah ini atau menjadi donatur Yayasan Dompet Al-Quran Indonesia (DeQI), sebuah lembaga sosial yang berfokus untuk menyantuni anak yatim penghafal Qur'an, bisa menghubungi saya atau situs resminya www.dompetalquran.org)
0 Response to "Anakku Jatuh Cinta "
Posting Komentar