An-Nuri dan Al-Hallaj
Adalah Abu al-Husayn an-Nuri, sufi besar dari Persia
pada abad ke-9, yang ditulis Annemarie Schimmel dalam bagian pertama buku ini.
An-Nuri pernah mengatakan sesuatu yang sangat kontroversial ketika ia mendengan
seruan adzan. Ia menyebutnya sebagai “racun yang mematikan”, sementara saat ia
mendengan lolongan anjing ia berseru, “Labbayka”.
Mengomentari hal ini, Schimmel mengatakan bahwa dengan seruan ini an-Nuri
hendak menghardik orang yang melakukan kewajiban semata karena uang, padahal
seekor anjing yang mengonggong, setiap gonggongannya adalah pujian pada Tuhan.
Apapun alasannya, perbuatan an-Nuri membuatnya banyak
dijauhi sahabat-sahabatnya sendiri. Apalagi salah satu tindakannya membuang
uang-uang miliknya ke sungai Tigris karena menurutnya keinginan untuk memiliki
uang adalah pikiran yang menyimpang. Namun demikian, an-Nuri memiliki kelebihan
yakni bahasa-bahasanya yang puitis dan indah sehingga Sulami mengatakan,”tidak
ada perwakilan jalan-sufi yang lebih baik atau siapa saja dengan
ungkapan-ungkapan yang lebih indah.” (Halaman 9)
Pada bagian kedua dalam buku ini Herbert Mason
membahas secara khusus tentang Al-Hallaj, tokoh sufi yang sangat fenomenal. Ia
berkisah bagaimana prosesi hukuman mati bagi Al-Hallaj yang dianggap melakukan
pelanggaran hukum berat dengan penyataannya yang popular: ana al-Haqq. Di penghujung kehidupannya al-Hallaj disiksa dengan
300 kali pukulan, tubuhnya dibebani 13 rantai, kemudian ia dilempari batu oleh
sekolompok orang, para algojo memotong-motong tangannya, kakinya, mencopot
kedua matanya, memotong hidung dan kedua telinganya. Mereka juga memotong
lidahnya sambil memohonkan ampunan kepada Tuhan sebelum memenggal kepalanya
yang bertepatan dengan adzan maghrib berkumandang. Setelah menjadi mayat, tubuh
al-Hallaj dibakar dan abunya dibuang ke sugai Tigris.
Mungkin menarik bagaimana Herbert Mason menggambarkan
percakapan Al-Hallaj dan Ibn ‘Ata’ dalam dramanya yang berjudul The Death of
al-Hallaj. Di sana al-Hallaj mengatakan, “…Tetapi bahkan ketika mati dia atas
tiang gantungan tidaklah lebih daripada sebuah anak tangga, bukan tangga yang
terakhir… tangga terakhir adalah Dia semata di mana Dia memeluk kita. Karena
kemudian kita tahu, hati dan pikiran kita adalah satu seperti hati dan
pikiranNya.” (Halaman 33)
Kontroversi soal al-Hallaj ramai diperdebatkan. Bagi
yang menerima pemikiran al-Hallaj bahkan mengatakan bahwa ia berada pada
derajat tertinggi dan tidak ada yang sederajat dengan dia baik di Timur amaupun
di Barat. Ada pula yang bersikap pertengahan, seperti Syaikh al-Islam. Ia
mengakui al-Hallaj sebagai seorang imam meski ia sendiri tidak setuju dengan
cara al-Hallaj menerabas aturan syari’at. Al- Hallaj, masih kata Syaikh
al-Islam, sehari semalam shalat sebanyak 1000 rakaat bahkan ketika hendak
dieksekusi masih sempat shalat 500 rakaat.
Berdasarkan riwayat dari ibn Khafif banyak bukti-bukti
kebaikan al-Hallaj yang tidak diungkap. Ketika ditanya oleh seseorang tentang millah yang dianutnya, al-Hallaj
menjawab, “millah yang hanif! Dan aku
turunan mereka yang berasal dari umat Muhammad saw.”ada pula pengakuan dari
putera al-Hallaj saat ia meminta nasehat pada ayahnya, maka al-Hallaj memberi
nasehat begini: “Seluruh alam berusaha melayanimu, maka berusahalah kamu pada
sesuatu, yang satu atom saja darinya menyamai amalan dua berat timbangan!” saat
ditanya, apakah yang dimaksud. Al-Hallaj menjawab, “Makrifat!” (Halaman 58)
Rafif,23 januari 2013; 5.39 wib
Review Hallaj,
An-Nuri, dan Mazhab Baghdad: Pustaka Sufi, 2003. 63 halaman. Karya
Annemarie Schimmel dan Herbert Mason
0 Response to "An-Nuri dan Al-Hallaj"
Posting Komentar