Bersyukur Lewat Seteguk Air
Saya sangat
bersyukur hidup di Indonesia. Paling tidak, karena di negeri yang saya cintai
ini, persediaan air masih melimpah ruah. Sudah barang tentu air yang saya
maksud di sini adalah air bersih untuk minum, mencuci dan mandi.
Di tanah air
saya ini, saya tak perlu khawatir ketika jalan-jalan atau sedang dalam
perjalanan merasa kehausan, saya tinggal mampir di warung atau di toko, maka
saya akan mendapatkan air yang saya butuhkan untuk melepas dahaga. Saya juga
tak perlu takut jika tiba-tiba merasa ingin buang air, karena pemilik SPBU yang
baik hati sudah menyediakan fasilitas toilet gratis bagi siapa saja. Ataupun
kalau tidak, di pinggir-pinggir jalan orang-orang masih berbaik hati membuatkan
toilet umum meski dengan berbayar.
Air, yang
katanya sang sumber kehidupan, di negeri saya tercinta ini harganya murah
sekali. Bahkan puluhan produsen air mineral kemasan sudah mulai berlomba-lomba
menawarkan kualitas istimewa dengan harga paling murah. Begitu pula dengan
tolilet umum. Hanya dengan membayar uang seribu rupiah, kita sudah bisa
membuang hajat yang sangat berbahaya jika tidak dikeluarkan. Itu pun seringkali
kita merasa terlalu mahal. “Buang air kok bayar,” begitulah komentar sebagian
dari kita, apalagi yang tidak terbiasa atau lebih tepatnya tidak pernah
menggunakan fasilitas toilet umum berbayar.
Saya jadi
teringat cerita seorang ustadz tentang Khalifah Harun Ar-Rasyid. Konon, sang
khalifah pernah berperjalanan dengan beberapa rombongannya, tak lupa beliau
juga membawa penasehatnya turut serta. Suatu ketika dalam perjalanan sampailah
mereka di padang pasir, tandus, tak ada air. Bekal kantong berisi air yang
dibawa para rombongan juga sudah habis. Mungkin hanya satu dua tetes air dalam kantong
itu yang kemudian diperas dan dimasukkan dalam gelas. Hasil perasan dari
beberapa kantong itu akhirnya memang hanya segelas air. Hanya cukup untuk minum
satu orang saja. Siapa lagi yang paling berhak di antara mereka untuk
meminumnya kalau bukan sang khalifah. Tanpa pikir panjang, sang khalifah segera
mengambil gelas itu dan bermaksud menuangkan
isinya ke kerongkongan yang telah terasa sangat kering. Namun, sebelum
keinginan sang khalifah tercapai, penasihat yang berada di sampingnya menahan
tangannya sambil berkata, “Wahai khalifah, seandainya sang pemilik segelas air
ini tidak mengijinkan engkau meminumnya kecuali engkau membayar dengan harga
yang mahal, berapakah engkau akan membayar pemilik segelas air ini?”
Tanpa pikir panjang
sang khalifah menjawab, “Aku akan membayarnya dengan separuh dari seluruh
kekayaan yang saya miliki.”
“Kalau begitu silakan
minum,” kata sang penasihat dengan senyum.
Maka Khalifah
Harun Ar-rasyid segera meminumnya. Setelah minum, sang penasihat mengajukan
pertanyaan kembali, “Wahai khalifah, jika air yang telah engkau minum tadi
tidak bisa keluar dari tubuhmu, dan hanya ada seorang tabib yang bisa
menyembuhkan penyakitmu , berapakah engkau akan sanggup membayar tabib itu?”
Lagi-lagi tanpa
berpikir terlalu lama, khalifah menjawab, “Aku akan membayar dengan separuh
kerajaan dan kekayaan yang tersisa.”
“Kalau begitu,”
kata sang penasihat, “harga segelas air yang engkau minum itu tak kurang dari
seluruh kekayaan dan kerajaan milikmu.”
Saya tak bisa
membayangkan betapa bahagianya penduduk Kenya Utara yang setiap hari harus
memanggul jerigen air keruh selama lima jam, jika kemudian mereka diberi
kesempatan beberapa bulan saja untuk hidup di Indonesia. Terkadang mereka harus
menunggu seminggu lamanya untuk mengambil air dari tangki yang dipasok oleh
pemerintah.
Tina Rosenberg
dalam National Geographic melaporkan,
hampir 900 juta orang di bumi ini yang tidak bisa menikmati air bersih. 2,5
miliar orang tidak memiliki jamban dan air yang memadai untuk membuang hajat.
Dan angka fantastisnya adalah, bahwa 3,3 juta orang di seluruh dunia meninggal
dunia setiap tahunnya dikarenakan air kotor dan tidak tersedianya jamban
ataupun sanitasi lingkungan yang buruk.
“… Dan
dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup." (QS Al Anbiya’ : 30)
Maka sekali lagi
saya sangat bersyukur hidup di negeri gemah
ripah loh jinawi ini. setidaknya saya termasuk tujuh dari delapan
orang yang masih bisa minum sepuasnya
kapan saja saya merasa haus. Saya juga bisa mandi setiap hari tanpa harus
khawatir kekuarangan air. Sumber air bersih di negri ini sangat melimpah.
Apalagi mengingat sebagian besar wilayahnya adalah lautan. Bahkan tahun 2009,
sebuah perusahaan di bawah control dari Omega Group Kyowa, Jepang, merintis
desalinasi air laut menjadi air mineral di Serangan, Bali, dan sukses menghasilkan
3.000 botol. Luar biasa.
Perhatikan
lagi firman Allah dalam Alquran:
“Apakah
kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit,
maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya
dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya…”(QS Az Zumar: 21)
Ketika hujan turun, kita berdoa
agar hujan senantiasa melimpahkan manfaat. Pohon-pohon tumbuh dan berbuah,
dahan dan dedaunnya menjaga manusia dari panas terik, membantu proses sirkulasi
udara. Buahnya menjadi hidangan yang lezat bagi manusia dan makhluk hidup di
sekitarnya.
Air menjadi sumber kenikmatan
hidup bagi manusia. Oleh karenanya, khulafaur rasyidin
pertama, Abu Bakar Ash-Siidiq, ketika suatu hari, beliau minta diambilkan
minuman. Lalu disodorkan kepadanya sebuah gelas berisi air yang diseduh
dengan madu.
Saat
beliau mengambil gelas dan hendak meminumnya, tiba-tiba beliau menangis.
Melihat hal itu, orang-orang di sekitarnya ikut menangis. Lalu Abu Bakar
terdiam cukup lama. Para sahabat yang lain bertanya-tanya. “Wahai khalifah
Rasulullah, tersebab apakah gerangan engkau menangis?”
Abu
Bakar menjawab, “Dulu, aku pernah bersama Rasulullah SAW dan saat itu tak ada
seorang pun kecuali kami berdua. Beliau memberi isyarat dengan tangannya, 'Menyingkirlah
dariku, menyingkirlah dariku!' lalu aku bertanya, "Wahai Rasulullah,
siapakah yang sedang engkau ajak bicara, padahal tidak ada seorang pun di
sini?"
Beliau
menjawab, "Dunia ini selalu menguntitku, maka kukatakan padanya:
menyingkirlah dariku, menyingkirlah dariku! tetapi dunia berkata, "Kalau
sekarang engkau bisa lolos dariku, maka sekali-kali tidaklah bisa lolos dariku
orang-orang sesudahmu."
"Inilah
yang membuatku menangis," kata Abu Bakar.
Seteguk air yang
kita minum setiap hari mungkin jarang kita syukuri. Kita baru menyadari
nikmatnya seteguk air itu, ketika kita tak lagi bisa minum atau merasa kehausan
yang sangat.
“Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan
(tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum
kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.” (QS
Al-Hijr: 22)
“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka:
"Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu
bumi sesudah matinya?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah".
Katakanlah: "Segala puji bagi Allah", tetapi kebanyakan mereka tidak
memahami (nya).” (QS Al-Ankabut: 63)
0 Response to "Bersyukur Lewat Seteguk Air"
Posting Komentar