Sastra dalam Sepilihan Esei Kritik Budi Darma
Saya menjadi pengarang karena takdir, kata Budi Darma
membuka kumpulan eseinya ini, dan sebagai seorang yang mempercayai takdir, mau
tidak mau saya menundukkan kepala kepadanya.
Namun demikian, Budi Darma sangat yakin bahwa kerja
kepengarangan tidak akan mencapai titik emas tanpa kerja keras, tanpa totalitas
dan tanpa kesungguhan – yang bisa dibilang ekstrem. Di Indonesia, menurut Budi
Darma, persepsi masyarakatlah yang – meminjam istilah beliau – tidak mendukung
“suasana yang baik untuk menulis”. Para penulis yang sebagian besar adalah kaum
intelektual “dipaksa” masyarakat untuk sekaligus menjadi teknokrat. Sehingga
sebagian besar yang kita temui, para penulis menjalani profesi ganda sesuai
dengan harapan masyarakat. Ada yang sekaligus menjadi guru, menjadi karyawan
swasta, hingga bahkan politikus dan menteri. Kalaupun ada yang mati-matian
memegang teguh idealismenya menjadi penulis an-sich,
masyarakat akan mengucilkan dan memperbincangkannya.
Budi Darma mengkritik tajam masalah ini. Ia mengatakan
bahwa tidak semua intelektual harus menjadi teknokrat, meski semua teknokrat
adalah intelektual. Menurutnya, Menulis tidak bisa dijadikan pekerjaan sambil
lalu karena ia bukan kerja seperti membatik yang dilakoni para janda pensiunan
atau seperti para tukang lainnya yang berbasis praktek kerja. Menulis adalah
kerja intelektual, berbasis pemikiran. Dan karenanya karya-karya para penulis
yang lahir dari kegigihan dan ketekunan bukan karya-karya sepintas-lalu,
melainkan karya yang kuat dan berbobot.
Ini dipertegas Budi Darma dalam eseinya yang berjudul
“Kreativitas”. Salah satu contoh tokoh yang dia kemukakan adalah Leonardo Da
Vinci. Da Vinci mengajarkan tentang proses panjang menuju kreativitas. Ia tidak
hanya melukis, tetapi selalu melakukan aktivitas yang berpengaruh besar
terhadap intelektualitas dan proses kretivitasnya sebagai seorang pelukis. Ia
senang jalan-jalan tanpa tujuan, membeli burung untuk kemudian dilepaskan di
alam, main musik, mengamati panorama alam, hingga bergaul dengan para ilmuwan.
Nampaknya inilah yang dimaksud Budi Darma dengan totalitas itu. Inilah yang
dimaksud dengan kerja keras itu. Adalah kerja berkesinambungan yang tidak
“memenjarakan” proses kreatif kepenulisan namun justru mendukung suasana positif
yang kelak melahirkan kreativitas yang menakjubkan.
Pada judul eseinya berikutnya, “Perihal Kedudukan
Cerpen”, Budi Darma mengupas habis kelemahan cerpen-cerpen Indonesia.
Kelemahan-kelemahan itu antara lain: kurangnya daya abstraksi dan kemampuan untuk
menjabarkan abstraksi ke dalam bentuk cerita, lemahnya dalam penyusunan
alur sehingga sedimikian mudah pengarang
“membunuh” tokohnya atau cara-cara lain menciptakan ending yang Nampak dipaksakan, dan banyaknya pengarang yang tidak
suka serta memperhatikan perkembangan karya sastra.
Namun demikian, kelemahan-kelemahan itu bukanlah
esensi sebuah karya sastra. Menurut beliau dalam “Sastra: Sebuah Pengakuan”,
yang paling penting dalam karya sastra adalah keindahannya, namun bukan
keindahan bahasa, melainkan keindahan yang disebabkan keberhasilan tulisan
sastra tersebut mendekati kebenaran (Hal.51)
Kebenaran dalam hal ini bukan berarti yang diyakini
seluruh masyarakat sebagai kebenaran, akan tetapi terkadang pemikiran yang
“nyeleneh”, sehingga terkadang menimbulkan pemberontakan terhadap jangkauan
kebenaran yang dipahami masyarakat. Sebab di sini, pengarang memiliki kepekaan
sendiri yang tak dimiliki orang lain, pengarang juga menguasai ilmu jiwa dan filsafat sehingga dapat menembus
kebenaran hakiki. Sastra, mau tidak mau, akan mengungkap kebenaran yang
tersembunyi. Oleh karena itulah para sastrawan para era Romawi Kuno dipercaya
untuk mengajari secara khusus para calon pimpinan militer dan pejabat tentang
sastra.
Budi Darma mengakhiri kumpulan eseinya dengan satu
esei pamungkas: “Sastra: Merupakan Dunia Jungkir-Balik?”. Bahwa betapa banyak
karya yang semula dianggap besar kemudian dihinakan. Ia memberi contoh seorang
penyair bernama John Shadwell yang dihancurkan masa depannya oleh Dryden,
penyair dan kritikus. Dryden mengkritik pedas Shadwell dan memvonis karya-karya
Shadwell sangat buruk. Masyarakat pun percaya pada Dryden dan era kepenyairan
Shadwell harus berakhir tragis. Ada pula Penyair besar John Milton yang
dikritik habis oleh T.S.Eliot sehingga membuat Milton sempat dicap sebagai
penyair buruk.
Sastra, menurut Budi Darma, mengungkapkan dunia yang
aneh dan dianggap tidak logis karena terkadang banyak keindahan yang menendang
logika termasuk dadaisme dan surealisme. Kadang-kadang juga karya sastra yang menjadi
besar dan fenomenal tidak dikehendaki pengarangnya. Seperti The Waste Land karya Ernest Hemingway,
yang sebenarnya versi aslinya lebih lengkap dari versi cetaknya dikarenakan ada
yang terpotong saat dicetak. Atau banyak lagi karya-karya yang semula tidak
diperhitungkan dan dilirik sebelah mata kemudian justru melejit menjadi karya
sastra yang diakui dunia bahkan kemudian banyak dibincangkan oleh sastrawan dan
para penikmat sastra.
Review Solilokui,
Kumpulan Esei Budi Darma. Gramedia, 1984. 101 halaman. Karya Budi Darma
0 Response to "Sastra dalam Sepilihan Esei Kritik Budi Darma"
Posting Komentar