Wanita yang Dirindukan Surga
Suatu ketika, Ummu Salamah bertanya
kepada junjungan kita tercinta, “Ya Rasulullah, manakah yang lebih utama;
perempuan dunia atau bidadari surga?”
Rasulullah SAW menjawab, “Perempuan
dunia lebih lebih utama daripada bidadari, seperti keutamaan yang tampak dari
apa yang tersembunyi.”
“Tersebab apa, Ya Rasulullah?”
Pertanyaan kali ini, menjadi bukti kecerdasan Ummu Salamah. Di tengah gembira
yang membuncah, ia berusaha mendapatkan kuncinya.
Maka simaklah baik-baik sabda
Al-Musthafa, Nabiyullah Muhammad SAW, “Karena shalat, puasa, dan ibadah mereka
kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka serupa kain
sutera, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya
kekuningan, sanggulnya mutiara, dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata,
‘Kami hidup abadi dan tidak mati. Kami lemah lembut dan tidak jahat sama
sekali. Kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali. Kami ridha dan
tidak pernah marah selamanya. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami
memilikinya.”
Maka demikianlah balasan bagi para
wanita penghuni surga. Kebahagiaan paripurna!
Siapa yang tak ingin menjadi ahli surga?
Ingat-ingat kata kuncinya: shalat, puasa, dan ibadah kepada Allah. Benarkah cukup
dengan tiga hal itu?
Pada kesempatan lainnya, seorang shahabiyah bernama, Asma’ binti Yazid
mendatangi Rasulullah. Saat itu, beliau SAW sedang duduk bersama para
sahabatnya. Asma’ berkata, “Demi ayah dan ibu sebagai tebusannya, Ya
Rasulullah. Ketahuilah, saya adalah utusan para wanita di belakangku.” Rupanya,
ada hal sangat penting yang akan disampaikan Asma’.
“Sungguh Allah mengutusmu kepada seluruh
laki-laki dan wanita, maka mereka beriman kepadamu dan kepada Tuhanmu. Kami
para wanita selalu dalam keterbatasan, sebagai penjaga rumah, tempat
menyalurkan hasrat dan mengandung anak-anak kalian, sementara kalian—kaum
lelaki—mengungguli kami dengan shalat Jumat, shalat berjamaah, menjenguk orang
sakit, mengantar jenazah, berhaji setelah sebelumnya sudah berhaji dan yang
lebih utama dari itu adalah jihad fi
sabilillah. Jika seorang diantara kalian pergi haji atau umrah atau jihad
maka kamilah yang menjaga harta kalian, yang menenun pakaian kalian, yang
mendidik anak-anak kalian. Bisakah kami menikmati pahala dan kebaikan ini sama
seperti kalian?”
Asma’ menyampaikan semua isi hatinya
dengan berapi-api. Begitu berani. Ia menjadi wakil yang menampung segala
kegelisahan semua wanita muslimah saat itu. Kegelisahan yang sama. Bukan
tentang dunia. Tapi tentang kecemburuan karena merasa ada ketidakadilan dalam
meraih peluang-peluang kebaikan.
Rasulullah SAW memandang kepada para
sahabat dan berkata, “Apakah kalian pernah mendengar ucapan seorang wanita yang
lebih baik dari pertanyaannya tentang urusan agama daripada wanita ini?” Para
sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, kami tidak menyangka ada wanita yang bisa mengeluakan
pertanyaan seperti itu.”
Maka Nabi Muhammad SAW kemudian berkata
kepada Asma’, “Pahamilah wahai para ibu. Dan beritahukan kepada para wanita di
belakangmu, bahwa ketaatan istri kepada suaminya, usahanya untuk memperoleh
ridha suami, dan kepatuhannya terhadap kenginan suami, menyamai pahala semua yang
engkau sebutkan tadi.”
Demi mendengar itu, wajah Asma’ pun
berseri-seri. Ia telah mendapatkan jawabannya. Sempurna. Sempurna!
Wanita
Sebagai Seorang Istri
Sebaik-baik perhiasan adalah istri
shalihah. Ia menjadi penyejuk mata, selalu menyenangkan ketika ditatap
berlama-lama. Tapi di kala lain, ia begitu meneduhkan hati yang gundah gulana, saat
banyak masalah menyesaki dada. Seperti Khadijah yang menyelimuti Muhammad,
ketika suaminya datang dengan bercucuran keringat. Ia berkata, “Bergembiralah.
Sungguh, Allah tidak akan pernah menghinakanmu.”
Istri shalihah, sebagaimana Ummu Sulaim
yang tak meminta mahar apapun kecuali keislaman Abu Thalhah. Lalu di malam itu,
malam di mana anak mereka merengkuh ajal, dengan senyum terindahnya Ummu Sulaim
menyambut suami tercinta di depan pintu, melayaninya sebagaimana malam-malam
sebelumnya. Ia menahan pedih duka, demi meraih pahala dan ridha Allah
tertinggi. Menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri!
Adakah wanita seperti Ummu Sulaim di
zaman ini?
Ketaatan paling utama bagi seorang
wanita, setelah Allah dan RasulNya, adalah untuk suaminya. Allah menyediakan
pahala yang besar bagi seorang istri yang selalu berusaha menyenangkan hati
suaminya. Meski hanya berupa senyuman selepas suami pulang dari kantor, pijatan
lembut, menyiapkan makan malam, segelas teh hangat, hingga kemesraan di atas
pembaringan.
Sebagian mungkin akan protes, bagaimana
jika perhatian-perhatian itu tak berbalas hal yang sama dari suami?
Akankah itu semua akan mengurangi bakti?
Bukankah ridhaNya yang kita cari? Bukankah ada surga yang lebih indah dan
abadi?
Sebagian lagi protes, bagaimana jika
suami justru sering mendzalimi?
Kita masih punya stok kisah yang lain.
Dialah Asiyah, istri Fir’aun. Kesabaran Asiyah, mengantarnya menjadi salah satu
wanita terbaik sepanjang masa. Jikalau engkau mampu bersabar, maka itulah yang
terbaik. Namun jika tidak, Islam telah memberikan pilihan: khulu’.
Lalu, alasan apa lagi yang masih
mengganjal dan menghalangimu untuk berbakti pada suami?
Wanita
Sebagai Seorang Ibu
Inilah peran kedua seorang wanita;
menjadi ibu bagi anak-anaknya. Ibu adalah madrasah, tempat anak-anak menimba
ilmu. Ajarilah anak-anak mengenal Allah, mencintai Allah, mentaati Allah,
berjuang di jalan Allah. Saat anak-anak, dengan azzam yang kuat, bergerak
membela agama Allah, itulah puncak dari kesuksesan seorang ibu.
Sebagaimana kisah seorang wanita bernama
Khansa. Khansa memiliki empat putra yang telah cukup matang untuk berjihad di
jalan Allah. Sebelum keempat anaknya pergi berperang, beliau berwasiat,
"Wahai anak-anakku, kalian masuk Islam dengan taat dan hijrah atas kemauan
sendiri. Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia,
sesungguhnya kalian adalah putra dari seorang wanita. Tidaklah aku menginginkan
untuk berkhianat pada ayah kalian tidak pula menyebarkan kejelekan-kejelekan
paman kalian. Aku tidak menjelekkan asal keturunan kalian dan tidak pula
merubah nasab kalian. Sungguh kalian telah tahu bahwa Allah 'Azza wa Jalla menjanjikan pahala yang
besar bagi kaum Muslimin dalam memerangi orang-orang kafir. Ketahuilah wahai
anak-anakku, sesungguhnya negeri yang kekal adalah lebih baik daripada negeri
yang fana. Ingatlah Allah 'Azza wa Jalla
telah berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan
kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu)
dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian beruntung" (QS Ali Imran: 200).
"Wahai anak-anakku, bila kalian
bangun di esok hari dalam keadaan selamat Insya Allah, maka bersiaplah untuk
memerangi musuh-musuh kalian dengan penuh konsentrasi, minta tolonglah kepada
Allah dalam menghadapi mereka. Apabila kalian lihat peperangan telah berkecamuk
dan semakin besar api semangat juang maka bertarunglah dengan gigih supaya
kalian mendapat kemenangan dan kemuliaan syurga yang kekal."
Setelah mendengar wasiatnya, di kala subuh,
keempat putranya berangkat ke medan tempur dan berperang bersama kaum muslimin
melawan musuh sambil melantunkan syair berisi bait-bait perjuangan dan pujian
tentang dirinya. Dalam peperangan itu, satu-persatu dari keempat anaknya gugur
sebagai syuhada. Mengetahui itu, Khansa tidak bersedih. Ia tetap tenang dan berkata, “Segala puji
bagi Allah yang telah memuliakan aku dengan syahidnya mereka. Aku mengharap
pahala dari Rabbku semoga Ia mengumpulkan aku dengan mereka kelak di tempat
yang penuh kasih sayang-Nya (surga)".
Inilah puncak pengorbanan seorang ibu. Ia
yang melahirkan dengan jerih tak terperi, kemudian membesarkannya dengan
sepenuh cinta. Saat kebahagiaan itu telah mencapai puncak, ia harus merelakan
mereka berangkat jihad, menyambut seruan Allah, merelakan mereka gugur sebagai
syuhada.
Mengapa Khansa begitu tegar? Karena ia
tahu, Allah tidak akan menyia-nyiakannya. Anak-anaknya telah mendapatkan
kebahagiaan tertinggi, dan ia pun akan segera menyusul.
“Tidak ada seorang pun dari kalian yang
ketiga anaknya meningggal lalu dia sabar kecuali dia pasti akan masuk surga.”
(Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad)
Maka berbahagialah, wahai para wanita
yang dirindu surga; para istri shalihah, para ibu yang menjadi madrasah bagi
anak-anaknya.
0 Response to "Wanita yang Dirindukan Surga"
Posting Komentar