Jodoh, Dicari dan Dinanti
Oleh Rafif Amir
Baru-baru ini saya mendapat cerita yang luar biasa
dari seorang teman di social media,
sebut saja namanya Ahmad. Lelaki yang memutuskan menikah di usia 18 tahun.
Menariknya, perempuan yang ia nikahi berusia jauh di atasnya. 10 tahun lebih
tua. Bagaimana ia bisa senekat itu? Bagaimana pula calon istrinya menerima
begitu saja?
Ahmad berkisah, penghasilannya hanya 300 ribu rupiah
saat itu, baru lulus SMA. Calon istri seorang perawat, sudah mapan, aktivis
dakwah pula. Awalnya Ahmad tak mengenal kecuali sebagai seorang penulis dan
sering mengisi pelatihan-pelatihan. Wajahnya pun tak kenal. Sebelum akhirnya
mereka bertemu secara tak sengaja di sebuah acara walimah. Ahmad banyak
berkonsultasi tentang kepenulisan dengannya. Jadilah mereka semakin dekat.
Entah kekuatan dari mana, Ahmad memberanikan diri menyatakan cintanya.
Perempuan calon istrinya mengatakan ia tak mau pacaran. Jika memang serius, ia
meminta Ahmad datang langsung menemui orang tua.
Tak lama, Ahmad benar-benar mengkhitbah perempuan itu.
Sepuluh tahun selisih usia mereka. Berbagai cibiran, kasak-kusuk tetangga, dan
penolakan dari teman, tetangga, hingga keluarga dekat mereka hadapi. Mereka pun
menikah dan telah dikarunia 2 orang anak. Istri Ahmad bercerita, bahwa sebelum
dikhitbah, ia pernah gagal dalam proses taaruf, tapi ia tak meyerah. Ia meminta
petunjuk pada Allah. Tiga malam berturut-turut ia bermimpi ada di pelaminan
dengan seorang lelaki yang lebih muda darinya, hanya saja ia tak bisa mengingat
wajah laki-laki itu. Dan ternyata, Allah menakdirkan lelaki itu adalah suaminya
sekarang, Ahmad.
Berkali-kali saya terkesima ketika mendengar atau
menyaksikan sendiri lika-liku proses perjodohan. Bagaimana Allah memperjalankan
takdir dua orang insan, sampai kemudian mereka memutuskan menikah. Terkadang
seolah tak masuk akal, tapi inilah bukti kebesaran Allah sebagaimana disebut
dalam Alquran surat Ar-Rum ayat 21: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir.
Beberapa orang mengalam proses pernikahan yang mudah.
Kenalan, bertemu, kemudian menikah. Tetapi tak sedikit yang harus melaluinya
dengan perjuangan, air mata yang tumpah, bahkan hingga berdarah-darah. Tetapi
pada akhirnya, semua akan menjadi kenangan saat perjanjian agung yang menggetarkan
arsy terucap. Episode baru kehidupan
telah dimulai.
Serumit
Apa Mencari Jodoh?
Suatu ketika Imam Syafi’i bangun untuk shalat malam.
Beliau melihat anaknya tertidur pulas dan didapatinya, maaf, kemaluan anaknya
itu tegang. Rupanya sang anak mengalami mimpi basah. Telah masuk masa baligh.
Esoknya, Imam Syafi’i mencari calon istri untuk anaknya, kemudian
menikahkannya.
Lain lagi dengan Umar bin Khattab. Suatu malam beliau
tertidur di dekat sebuah rumah penduduk. Beliau mendengar ada sedikit keributan
antara ibu dan anak perempuannya. Sang anak tidak mau menuruti permintaan ibu
untuk mencampur air ke dalam susu yang hendak dijual. Ia tidak mau karena
perbuatan itu termasuk diharamkan dan dimurkai Allah. Umar merasa kagum pada
perempuan itu. Esoknya, ia menikahkan putranya dengan perempuan itu. Masya
Allah!
Bagi engkau yang telah menjadi orang tua, permudahlah
pernikahan anakmu nanti sebagamana kisah Imam Syafi’i dan Umar bin Khattab ini.
Mudah-mudahan Allah mengaruniakan keberkahan bagi keduanya.
Lalu bagaimana dengan yang masih lajang dan sedang
mencari jodoh?
Pertama, luruskan dulu niat dan tata hati bahwa tiada
lain maksud untuk menikah kecuali mengharap ridha Allah SWT.
Kedua, persiapkan diri dengan menambah wawasan tentang
fiqih munakahat, memantapkan kesiapan
menjadi seorang suami atau istri.
Ketiga, ikhtiar. Tentu saja dengan cara-cara yang syar’i.
Menjauhi pacaran. Bisa minta tolong saudara, teman, atau siapapun yang
dipercaya. Atau jika memang sudah ada yang dicintai, carilah perantara agar
bisa membantu prosesnya.
Keempat, tetap berprasangka baik pada Allah dan jangan
pernah bosan memohon petunjuk padaNya.
Bagaimana
Jika Jodoh Tak Kunjung Datang?
Evaluasi lagi sudah sejauh mana ikhtiar kita. Evaluasi
juga, benarkah jodoh tak kunjung datang karena memang belum waktunya atau
sebenarnya karena terlalu banyak kriteria calon pasangan yang disodorkan?
Muslimah, cantik, berprestasi, berpendidikan tinggi, suku sunda, hobi membaca,
pintar memasak, usia maksimal 20 tahun, hidung mancung, dan bla bla bla.
Jika engkau menginginkan kesempurnaan, maka yakinlah
engkau tak akan menemukannya.
Lalu bagaimana? Rasulullah sudah memberikan pedoman
dalam sabdanya yang mungkin sudah engkau baca berulang-ulang. “Wanita itu
dinikahi karena empat hal; karena hartanya, karena kecantikannya, karena
nasabnya, karena agamanya. Pilihlah karena agamanya, maka kau akan beruntung.”
(HR. Bukhari)
Pilihlah karena agamanya. Kriteria itu yang seharusnya
menjadi prioritas. Perhatikan juga bagaimana akhlaknya karena kelak ia akan
menjadi teladan, menjadi madrasah bagi anak-anakmu.
Maka jika hadir di hadapanmu seorang wanita yang tidak
diragukan lagi agamanya, pertimbangkanlah dengan sungguh-sungguh. Mungkin ia
tak terlalu cantik tetapi bukankan kecantikan itu pada saatnya nanti akan
sirna. Bisa jadi ia tak pandai memasak tetapi bukankah itu bisa dengan mudah
dipelajari. Bisa jadi usianya lebih tua darimu, tapi bukankah Khadijah istri
Rasulullah pun begitu, tetapi Rasulullah SAW sungguh sangat berbahagia
bersamanya?
Tetapi bagaima jika tidak mencintainya?
Bagaimana
Jika Cinta Tidak Hadir?
Seseorang yang berjodoh tidak mesti saling mencintai.
Ada orang yang menikah diawali dengan cinta dan mereka bahagia, ada yang
menikah tanpa cinta lalu cinta tumbuh setelahnya dan mereka bahagia, ada yang
menikah tanpa cinta dan tak ada cinta di dalamnya tetapi mereka baik-baik saja,
ada yang menikah diawali rasa cinta tetapi seiring waktu cinta memudar lalu tak
saling mencintai lagi.
Cinta tak terlarang, tetapi cinta bukanlah
segala-galanya. Ada yang lebih besar daripada cinta. Ia adalah tanggung jawab.
Rasa tanggung jawab. Tanggung jawab sebagai seorang suami terhadap istrinya,
tangung jawab seorang istri teradap suaminya.
Cinta yang terlalu menggebu-gebu justru bisa
berbahaya, karena bisa jadi melampaui cinta kita kepada Allah, RasulNya, dan
jihad di jalanNya. Maka dari itu tempatkanlah cinta secara proporsional.
Hakikatnya manusia dengan manusia lainnya, istri dengan suami saling mencintai.
Hanya kadarnya ada yang sedikit, ada yang banyak. Cinta bisa terang menyala,
bisa juga redup. Bisa tumbuh, bisa pula tumbang. Tetapi selama kita menautkan
cinta pada pada Dzat yang menganugerahi kita cinta, maka percayalah cinta akan
selalu segara seperti embun yang membasahi kelopak bunga.
Jadi, menikah karena rasa cinta atau menikah tanpa diawali
cinta adalah sebuah pilihan. Yang terpenting, komitmen kita setelah
menjalaninya.
Usia
Berapa Idealnya Kita Menikah?
Seperti kisah Ahmad yang saya sampaikan di awal
tulisan. Ia menikah di usia 18 tahun. Jika melihat kebiasaan yang ada di negara
kita, usia Ahmad saat menikah dianggap terlalu muda. Padahal ketika seseorang
sudah baligh, maka saat itulah sebenarnya ia layak untuk menikah.
Namun umumnya, masyarakat beranggapan usia yang pas
untuk menikah bagi laki-laki adalah sekitar 30an, bagi wanita sekitar 25an.
Hitung-hitungan ini karena juga mempertimbangkan studi hingga jenjang
mahasiswa, dan diperkirakan di usia itu sudah memiliki pekerjaan yang mapan,
sudah siap secara materi.
Padahal pernikahan bukan hanya berbicara tentang
materi, meski itu penting. Islam hanya memberikan syarat, ba’ah, artinya memiliki kemampuan dan tekad yang kuat untuk mencari
nafkah. Allah nanti yang akan membukakan pintu-pintu rezekinya. Kisah Ahmad
sangat menginspirasi. Ia menikah saat penghasilannya masih sangat minim.
Setelah menikah, ia mengatakan membuka usaha kecil-kecilan dan terus berkembang
hingga ia sanggup membeli rumah untuk tinggal mereka.
Bagaimana
Jika Tak Kunjung Ada yang Melamar?
Perempuan, sudah kepala empat tapi belum juga ada
lelaki yang datang untuk melamar, haruskah diam dan terus menunggu?
Sungguh, Islam tak pernah mempersulit dalam urusan
pernikahan. Sudah banyak contoh, perempuan yang berinisiatif mengajukan
dirinya. Ini bukan aib, bukan sebuah keburukan. Khadijah salah satunya, yang ia
inginkan untuk menjadi suami bahkan seorang lelaki agung, sebaik-baik manusia.
Tetapi sikap Khadijah justru dipuji dan ia mendapatkan kedudukan terhormat di
hati Rasulullah SAW.
Bagaimana jika ditolak? Itu hal yang biasa. Tak akan
mengurangi kemuliaan seseorang. Tak akan jatuh harga dirinya. Jika kemudian
banyak orang yang mencela, biarlah itu menjadi urusannya dengan Allah. Betapa
banyak perbuatan baik di dunia ini yang justru mendapat respon tak semestinya,
tetapi jika yang kita cari adalah ridha Allah, jangan bersedih Allah akan
menolong kita.
Jika segala upaya sudah dilakukan dengan maksimal dan
jodoh tak juga datang, tetaplah berbuat baik dan terus memperbaiki diri. Bahkan
kalaupun jodoh tak datang hingga kita meninggal dunia, barangkali Allah telah
menyiapkan dia untuk kita di surga. Tidakkah kita rela?
Saat ini, yang kita lakukan adalah, nikmatilah segala
proses mencari dan menunggu jodoh sesuai tatacara yang syar’i. Mudah-mudahan
Allah memberi kemudahan bagi kita untuk menemukan pasangan yang shalih dan
shalihah, yang bisa mengantarkan kita menuju surgaNya.
dimuat di Majalah DeQI edisi Januari 2018
5 Responses to "Jodoh, Dicari dan Dinanti"
Jodoh, misteri Allah mah. Aku sudah melewati masa itu sekarang tinggal menjalani dan menikmati serta menjaga ikatan yang setara perjanjian antara Allah dan RasulNya. Mantab tulisannya Bang.
Tulisan yang keren nih, sebuah pencerahan untuk yang sedang menanti jodoh, jodoh dinanti dan dicari... hehehe
Alhamdulillah masa penantian jodoh sudah terlewati. Bahkan aku sempat pasrah kalau misalnya ditakdirkan nggak ketemu jodoh di dunia. Memang kita tak boleh putus berdoa kalau soal jodoh ini. InsyaAllah Allah sudah siapkan jodoh yang terbaik untuk kita.
obrolin jodoh sellau seruuu
di keluarga saia masih ada belum nikah, moga 2018 ini. aamiin
Posting Komentar