Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan, Sebuah Cara Meraih Cinta yang Halal
Jangan
salah sangka, ini bukan pembacaan pertama saya atas buku Nikmatnya Pacaran
Setelah pernikahan (NPSP). Saya sekadar membaca ulang. Yah, sekadar membedakan
sensasi membaca buku ini ketika masih lajang dan saat sudah ada gandengan. Tapi
sebenarnya, bukan itu juga tujuan utamanya. Lantas apa?
Kita simak
saja dulu, permulaan bab 4 dalam buku ini, di sebuah paragraf yang saya coret
dengan stabilo kuning.
“Syaithan,
kata Ibnu Abbas, menempati tiga lokasi dalam diri seorang lelaki: pandangan,
hati, dan ingatan. Sementara kedudukan syaithan dalam diri seorang wanita
menurut Faqih-nya para sahabat ini ada pada lirikan mata, hati, dan
kelemahannya.” (Hal. 68)
Tiga
kelemahan laki-laki dan tiga kelemahan wanita. Ada satu yang sama persis, yaitu
hati. Dan telah kita ketahui bersama, meski harus menjawabnya dengan rona merah
di wajah, bahwa hati adalah singgasana bertahtanya cinta. Cinta yang seringkali
membuat kita jatuh hingga porak-poranda.
Tetapi
hati, hanyalah muara. Pintunya adalah mata. Adalah pandangan bagi kaum Adam dan
lirikan mata bagi kaum Hawa. Coba kita bandingkan dua hal ini: pandangan dan
lirikan mata. Jika diibaratkan lagu, ia hanya beda pada intonasinya. Namun
hakikatnya sama. Maka sejarah pun mencatat, tidak hanya Qabil yang gara-gara
menyukai Iqlima hingga tega membunuh Habil saudaranya, tetapi para perempuan
bangsawan pun terpesona oleh ketampanan Yusuf hingga tak sadar mengiris
jari-jemarinya.
Pandangan
dan lirikan mata. Itulah sebab Rasulullah SAW meminta Ummu Salamah untuk
berlindung di balik tabir meski yang datang hanyalah seorang buta, Abdullah bin
Ummi Maktum. Jika terhadap lelaki buta saja Rasulullah meminta agar menjaga
pandangan, bagaimana pula dengan lelaki gagah, tampan rupawan bak Yusuf ‘alaihissalam?
Maka sebuah
kisah menarik kembali ditampilkan dalam buku ini. Masih tentang menjaga
kehormatan. Seorang wanita yang merayu dan mengajak berzina seorang ulama.
Beliau mengiyakan permintaan si wanita. Tetapi dengan satu syarat, beliaulah
yang menentukan tempatnya. Dan dibawalah wanita itu ke samping Ka’bah! “Buka
pakaianmu dan berbaringlah!” kata beliau. Si wanita bingung, ia protes,
“Mengapa di sini?” ulama kita ini menjawab, “Apa bedanya semua tempat? Bukankah
di rumahmu, Allah tetap tahu dan di sini pun Ia menyaksikan perbuatan kita?”
tenggorokan wanita itu tercekat, ia menangis, menyesal dan bertaubat. (Hal.
108)
Masih
banyak lagi kisah-kisah serupa dalam buku Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan
ini. Kita jadikan pelajaran dan hikmah bahwa perjuangan menjaga kehormatan
dimulai dari menundukkan pandangan, lalu hati yang senantiasa tertaut dengan
Allah.
Tidak mudah
untuk sampai pada level ini. Oleh karenanya, setiap pribadi harus terus
berbenah. Menjadi lebih baik dari hari ke hari. Meningkatkan kualitas ketaqwaan
di hadapan Allah. Salah satunya dengan memperbanyak ibadah seperti shalat.
Karena shalat mengajarkan kesabaran. Sabar untuk tidak bermaksiat kepadaNya.
Kita perbaiki kualitas dan kuantitas shalat kita. Meski mungkin belum bisa
seperti Imam Ahmad yang shalat 300 rakaat dalam sehari. Kemudian jangan lupa
pula ngaji. Ikut halaqah. Karena di sanalah pribadi kita ditempa. Di sanalah
kita berlomba-lomba untuk mencapai 10 muwashafat seorang mukmin sejati.
Lalu
setelahnya, mulailah berpikir untuk membangun mahligai rumah tangga. Tidak
harus menunggu kaya. Cukup ba’ah, kemampuan untuk mencari nafkah. Jika niatnya
karena mencari ridha Allah, maka Ia akan menurunkan karuniaNya. Tetapi jika
masa-masa sulit itu harus dilalui, tetap berprasangka baik padaNya. Teruslah
berusaha. Jika istri kebetulan lebih berada, maka mungkin tak ada salahnya
sekali-dua, jika ia berkenan, menyedekahkan sebagian hartanya untuk hidup
berdua. Sebagaimana yang dilakukan Ibnu Mas’ud dan istrinya. Demikian pula kita
meneladani pernikahan Az-Zubair dan Asma binti Abu Bakar. “Az Zubair menikahiku…
Di bumi ini ia tak memiliki harta atau sahaya, atau apapun kecuali unta dan
kudanya. Akulah yang memberi makan kudanya, menimba air, menjahit timba airnya,
serta membuat adonan,” begitu cerita Asma’. Demikianlah para istri shalihah
dalam kehidupan rumah tangganya.
Nikmatnya
Pacaran Setelah Pernikahan (NPSP) benar-benar akan mengantarkanmu mencari
pasangan shalih/shalihah, ditulis dengan gaya khas Salim A Fillah, kata-kata
yang bernas dan penuh hikmah.
Buku ini
ditutup dengan bab “Ikrarkan Bersama, Untuk Tetap di JalanNya”. Di dalamnya,
terdapat sebuah kutipan dari Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid yang indah:
Sepotong roti yang engkau makan di suatu sudut
Segelas air putih dingin yang engkau minum dari
mata air
Kamar bersih tempat engkau menenangkan dirimu
Istri patuh yang membuat engkau puas dengan
melihatnya
Anak perempuan kecil yang dikaruniakan dengan
kesehatan
Rezeki yang tidak kau sangka-sangka sumbernya
Allah menetapkanmu menjadi seorang da’i
Di suatu masjid terpencil untuk menghilangkan
kerusakan
Adalah lebih baik daripada waktu yang engkau
habiskan di istana-istana megah
NSP sangat
layak dibaca oleh siapapun yang rindu untuk menikah, yang sedang mempersiapkan
pernikahan, maupun yang telah menikah. Sudah saya buktikan. Saat membacanya
lagi, ada debar-debar yang sama, seperti dulu.
Book Review #97. Review Nikmatnya
Pacaran Setelah Pernikahan. Karya Salim A Fillah. Penerbit Pro-U Media, Yogyakarta: Cetakan 15,2010. 240
halaman.
0 Response to "Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan, Sebuah Cara Meraih Cinta yang Halal"
Posting Komentar