Sejarah Buku; dari Lempeng Tanah Liat hingga Buku Digital
Pernahkah
Anda berpikir, bagaimana pertama kali buku ditemukan?
Kalau saat
ini kita menikmati buku cetak dan buku digital dengan begitu mudah, tidak
demikian ketika zaman awal media tulis ditemukan. Bangsa Sumeria, sebagai yang
pertama kali menemukan media untuk menulis, menjadikan lempeng tanah liat
sebagai “kertas”. Tanah liat yang telah dibentuk menjadi balok tipis, ditulis
dengan buluh yang tajam, lalu dikeringkan atau dibakar. Tulisan-tulisan panjang
seperti karya sastra, ditulis dalam beberapa lempeng yang diberi nomor untuk
menandai urutan pembacaan.
Pada
perkembangan berikutnya, sekitar 2500 SM, bangsa Mesir menjadikan gulungan
pohon papirus sebagai media tulis. Media ini lebih mudah dibawa daripada
lempeng tanah liat. Bangsa Romawi dan Yunani selanjutnya mengganti gulungan
pohon papirus dengan perkamen kulit kambing atau domba. Tentu saja,
lembaran-lembaran itu eksklusif dan langka. Sebab untuk menghasilkan satu
tulisan dengan media perkamen harus menyembelih satu kambing atau domba.
Sehingga
kemudian, muncullah ide menjadikan tablet lilin sebagai media. Tablet lilin
terbuat dari kayu yang dilapisi lilin. Pena yang digunakan untuk menulis di
atas lapisan lilin adalah sesuatu yang ujungnya tajam. Yang membedakan media
ini dengan media tulis sebelumnya adalah, tablet lilin mudah dihapus. Harganya
pun jauh lebih murah dari perkamen. Ini membuat tablet lilin lebih disukai dan
semakin banyak orang yang mulai menulis.
Tulisan-tulisan
panjang di atas media tablet lilin kemudian dikumpulkan, diikat dengan kain
atau potongan kulit, sehingga bentuknya menyerupai buku yang sekarang kita
kenal.
Berabad-abad
kemudian, Johannes Gutenberg, seorang berkebangsaan Jerman, menemukan mesin
cetak. Sekitar 1445, Gutenberg memulai proyek pertamanya. Mencetak dua volume
alkitab setebal 1200 halaman. Butuh waktu 3 tahun bagi Gutenberg untuk
menyelesaikannya. Ia berhasil.
Namun
nasibnya tak secemerlang temuannya. Karena terlilit utang, ia meninggalkan satu
peluang besar bisnis percetakan yang baru saja dimulai. Fust, seorang pengusaha
besar kemudian berinisiatif melanjutkan ide besar Gutenberg.
Industri
buku semakin berkembang sejak saat itu. Tahun 1483, kantor percetakan di
Florence mencetakan 1.025 kopi buku Dialogues
karya Plato dengan harga tiga florin (sekitar 250 ribu rupiah). Buku menjadi
lebih mudah dicetak secara massal, permintaan cetak pun semakin meningkat
pesat. Disebutkan bahwa setelah Gutenberg berhasil menemukan mesin cetak,
hingga 55 tahun berikutnya, jumlah buku yang diproduksi sama dengan jumlah yang
dihasilkan oleh juru tulis eropa selama beribu-ribu tahun!
Karena
perubahan yang luar biasa ini, sebagian orang menganggap bahwa pembuatan buku
melibatkan tangan-tangan gaib. Sehingga ketika Johann Fust hendak membawa
sejumlah besar buku cetak ke Paris, ia diusir oleh polisi dengan tuduhan
bersekongkol dengan iblis.
Tentu saja
butuh waktu, hingga kemudian berangsur-angsur persepsi itu hilang. Awal abad
17, mesin cetak sudah semakin mudah ditemukan. Berbagai produk mulai dari
koran, jurnal ilmiah, dan buku dihasilkan dalam jumlah besar. Hal itu
berlangsung selama berabad-abad. Hingga kemudian, setelah memasuki abad ke 21,
ketika computer dan internet ditemukan, industri buku cetak perlahan mengalami
goncangan. Banyak penerbit gulung tikar, banyak toko buku terpaksa tutup. Orang-orang
menulis di Microsoft Word dan menerbitkan karyanya dalam bentuk e-book.
Akankah
buku cetak ditinggalkan sebagaimana gulungan perkamen dan tablet lilin
ditinggalkan pasca era Gutenberg?
Refreensi: The Shallows; Nicholas Carr. Mizan, 2011
0 Response to "Sejarah Buku; dari Lempeng Tanah Liat hingga Buku Digital"
Posting Komentar