Cukur dan Tukang Cukur
Satu hal
yang membuat hati saya melambung ke angkasa setiap kali selesai potong rambut
adalah, pujian dari Safa. “Ayah tambah ganteng,” begitu komentarnya senantiasa.
Dan pujian itu serupa angin sepoi yang membelai rambut kepala. Lebih
menyenangkan daripada mematut diri di cermin dan melihat rambut tak lagi
acak-acakan, lebih rapi, lebih mudah disisir.
Tapi Safa
pula yang pertama kali protes jika melihat rambut saya sudah mulai panjang. Dinasihatinya
saya supaya lekas ke tukang cukur. Dan seringkali saya mengajaknya. Biasanya
pulang sekolah, sekalian menjemputnya. Karena kebetulan lokasinya juga masih
searah.
Seperti
sore ini, ia girang sekali ketika saya ajak. Entah senang karena melihat proses
rambut ayahnya dicukur, senang karena tak langsung pulang ke rumah, atau senang
karena akan segera melihat rambut ayahnya kembali rapi. Saya tak menanyakannya
dan tak ingin menanyakannya. Yang terpenting, melihatnya senang juga membuat
saya senang.
**
Tukang
cukur langganan saya di dekat masjid Sarirogo. Itu saya putuskan setelah
berkali-kali ganti tukang cukur.
Tukang
cukur pertama, hasilnya kurang memuaskan versi istri saya. Sebenarnya, beliau
cukup ramah dan sering mengajak ngobrol, tapi maaf, bau badannya membuat saya
tak tahan. Air yang digunakan untuk menyemprot rambut baunya juga nano-nano.
Benar sih, setelah potong rambut, biasanya langsung keramas, tapi tidak begitu
juga kan?
Tukar cukur
kedua, paling dekat dari rumah. Tarifnya murah, cepat pula. Sret, sret, sret,
tidak sampai 5 menit selesai. Hasilnya bagus. Tapi mungkin karena saking
cepatnya, kenyamanan pelanggan berkurang. Setiap selesai cukur, mesti kulit
sekitar kepala terasa perih. Rupanya luka karena goresan silet cukur. Lalu saya
putuskan untuk tidak kembali lagi.
Tukang cukur
ketiga, bagus dan rapi hasilnya. Tapi sering tutup, dan mungkin sekarang sudah
tidak buka lagi. Selain itu, lumayan jauh. Di daerah Modong, Tulangan. Karena
lokasinya dekat dengan servis Ahass, biasanya saya sekalian servis motor dan
ganti oli.
Jadi sementara
ini, tukang cukur di Sarirogo menjadi pilihan favorit. Tak terlalu lama, tak
terlalu cepat juga. Sekitar 10 menit kurang lebih. Pelayanannya baik dan ramah.
Tarifnya standar dan terjangkau. Dan
yang membedakan dengan ketiga tukang cukur yang saya sebutkan, ada
plus-plusnya. Setelah cukur, kepala dan bahu saya dipijat. Gratis.
Servis
pijat gratis ini mengingatkan saya pada tukang cukur langganan saat masih
kuliah di Jember dulu. Tepat di gang Jalan Jawa VII. Sampai saat ini,
pelayanannya masih yang terbaik. Setelah cukur, pelanggan dimanjakan dengan
keramas gratis. Jadi, begitu pulang ke rumah sudah benar-benar rapi, tak perlu
mandi lagi. Maksudnya, tak perlu keramas lagi. Setelah keramas, kepala dipijat.
Kebayang kan segarnya?
sumber gambar: x.detik.com
0 Response to "Cukur dan Tukang Cukur "
Posting Komentar