Kapan Nikah? Kapan Hamil? Kapan Nambah?
Dalam
sebuah sesi tanya jawab acara bertajuk nikah muda, seorang peserta dengan
lantang bertanya, “Bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering
diulang: kapan nikah?”
Nyes! Saya
yakin, pertanyaan ini juga berkecamuk di pikiran muda-mudi lajang, apalagi
ketika lebaran menjelang. Pertanyaan klise, bikin panas dan tak enak hati. Bagi
sebagian, mungkin bikin tak enak makan juga. Hehe. Lalu bagaimana menjawab
pertanyaan itu, yang datang bertubi-tubi, bagai serangan rudal penjajah?
Pembicara
menjawabnya sederhana. “Katakan saja pada dia: kamu mau nyarikan ta? Kalau kamu
ada calon untuk saya, ayo dikenalin.” Atau yang paling aman, bilang saja
begini, “Mohon doanya saja, semoga dimudahkan.”
Seorang
jomblo yang saya kenal malah punya jawaban khas, yang sekaligus guyonan. Jika
ada yang bertanya kapan nikah, ia akan menjawab, “Insya Allah habis lebaran.
Tapi gak tahu lebaran tahun ini, tahun depan, atau tahun-tahun yang akan
datang.”
Jawaban
atas pertanyaan “kapan nikah?” memang tak harus seragam. Dilihat dulu siapa
yang bertanya. Jika yang bertanya teman sesama jomblo, biasanya jawabnya lebih
mudah. Tapi kalau yang bertanya itu orang tua atau orang yang dihormati, bisa
jadi lidah terasa kelu untuk mengeluarkan kalimat yang pas.
Tapi tak
perlu takut berlebihan atau sedih dengan pertanyaan itu. Stay cool aja. Enjoy
aja. Miris sekali kalau pertanyaan itu, ditanggapi berlebihan bahkan dengan
menganiaya si penanya. Seperti yang pernah terjadi dan sempat viral beberapa
waktu lalu.
Percayalah,
pertanyaan itu akan segera berakhir jika kamu sudah menikah. Tak akan ada lagi
pertanyaan serupa. Kecuali mungkin pertanyaan, “Kapan nikah (lagi)?” Nah,
pertanyaan ini yang butuh gaya diplomasi lebih tinggi.
Setelah
menikah, pertanyaan akan berubah. “Sudah isi?” Ngerti kan maksudnya?
Orang-orang akan bertanya apakah istrimu sudah hamil? Pertanyaan itu akan
merembet pada pertanyaan-pertanyaan lain, baik jawabannya “iya” maupun “tidak”.
Sudah berapa bulan? Laki atau perempuan? Sudah nyiapkan nama? Dan blablabla. Lalu
diikuti serangkaian nasihat yang sama: gak boleh capek-capek, minum ramuan ini
minum ramuan itu, dan blablabla.
Jadi,
terbayang kan? Bukan hanya bujang yang resah menghadapi hari lebaran.
Pertanyaan untuk yang sudah menikah bahkan lebih banyak dan bervariasi. Kalau
ternyata sudah punya anak, pertanyaan selanjutnya adalah, “Gak pengen nambah?”,
“Apakah ikut program?” maksudnya KB, “Kapan si kecil punya adik?” ditambah
sedikit penegasan. “Sudah pantes kok dia punya adik.” Dan blablabla.
Dengan
demikian, teman-teman sekalian para bujang atau para jomblo, pertanyaan “kapan
nikah?’ itu sesungguhnya gak ada apa-apanya jika dibadingkan cecaran bagi yang
sudah menikah, punya anak, bahkan kalaupun jumlah anaknya banyak. Semua akan
mendapatkan pertanyaan yang “menyesakkan”.
Sebenarnya
tidak “menyesakkan”, hanya mungkin membuat stress. Hahaha.
Jawablah
dengan tenang dan pastikan hirup napas dalam-dalam sebelumnya. “Kapan nikah?”,
Jadikan pertanyaan itu sebagai cambuk untuk menyegarakan. Segera, bukan
tergesa-gesa. Jika sudah tak ada aral melintang, lakukan proses menemukan jodoh
dengan benar. Lewat proses taaruf.
Setidaknya
jika itu sudah dilakukan, jawaban untuk lebaran mendatang akan semakin mantap.
Sudah ada usaha. Ada ikhtiar. Tinggal kapan Allah akan mempertemukan di
pelaminan.
Pertanyaan
“kapan nikah?” juga dijawab dengan senyuman atau tantangan. Jika si penanya
berusia sebaya dan juga masih lajang, bilang saja, “Kita buktikan, siapa yang
menikah duluan diantara kita!” mungkin ini akan membuatnya jera, untuk kembali
bertanya.[rafif]
sumber gambar: clipartstation.com
0 Response to "Kapan Nikah? Kapan Hamil? Kapan Nambah?"
Posting Komentar