Ia yang Lahir di tengah Deru Perjuangan
Ramadan 1440 H
Pemilu baru saja usai. Tetapi sengketa baru saja
dimulai. Dugaan kecurangan terkuak ke publik. Demonstrasi besar-besaran. 21 Mei
2020, ribuan orang datang ke Jakarta menuntut keadilan. Mereka menuntut
transparansi hasil pemilu. Mereka mendesak pemerintah mengusut tuntas penyebab ratusan
petugas pemilu yang meninggal secara misterius.
Saya hanya bisa menyaksikan momen-momen genting dan
menegangkan itu dari layar televisi rumah sakit. Hari itu, istri saya akan
melahirkan. Itulah mengapa saya tak bisa turut ke Jakarta, bergabung bersama
para pejuang keadilan. Saya hanya bisa memantau berita dan laporan-laporan yang
update terus-menerus di media sosial.
Ada teman saya hadir di sana. Beliau ikut mengabarkan situasi terkini lewat
chat WhatsApp.
Suasana begitu mencekam. Saya khawatir negara akan
pecah. Kejadian seperti 1998 akan terulang. Bentrokan aparat dan massa tak
dapat dihindarkan. Saya melihat jaket almamater yang berlumuran darah. Saya melihat
gas air mata yang disemprotkan, rentetan bunyi tembakan, batu-batu yang dilemparkan.
Saya menangis. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya tidak
dalam posisi mendukung partai A, atau capres B. Saya mendukung kebenaran. Kecurangan-kecurangan
itu sangat jelas dan nyata. Bukti-bukti sudah terang benderang. Saya sendiri juga
ikut dalam proses tabulasi suara mulai tingkat KPPS hingga tingkat kabupaten. Saya
bertekad, saya harus berada bersama-sama di barisan mereka yang memperjuangkan
kebenaran.
Saya hanya bisa menyuarakannya di media sosial. Lewat tulisan,
lewat bait-bait puisi. Sambil tak henti-hentinya berdoa buat keselamatan negara
dan bangsa, keselamatan para perjuang.
Perasaan saya campur aduk. Memikirkan mereka dan
memikirkan kondisi istri yang akan melahirkan. Silih berganti pula doa saya
panjatkan. Kelahiran buah hati kedua kami insyaAllah akan mejadi hadiah yang
istimewa. Setelah perjuangan dan penantian tujuh tahun lamanya. Berbagai ikhtiar
telah kami lakukan, lalu Allah mengabulkan. Namun kami masih harus melewati
berbagai ujian. Isti saya harus dioperasi caesar, karena ada mium dalam rahimnya.
Saya tak henti memohon kepada Allah, agar istri dan
bayi kami selamat, juga para pejuang yang di garda depan itu selamat. Bukankah
Allah telah pula memberikan kemenangan bagi pasukan Badar di Bulan Ramadan.
Bukankah saat itu, Rasulullah bermunajat kepada-Nya dengan penuh kesungguhan
dan bercucuran air mata, lalu Allah memberikan pertolongan dengan mengirim
malaikat-malaikat-Nya?
Situasi di Jakarta semakin memanas. Berjam-jam saya
juga belum mendapatkan kabar tentang kondisi istri dan bayi kami. Sekitar Magrib,
sesaat setelah berpuasa ala kadarnya, saya dipanggil ke ruang operasi. Dokter memperlihatkan
sesuatu kepada saya. Bukan bayi kami. Itu adalah rahim istri saya dan mium yang menempel pada rahim. Dokter memutuskan
tidak melakukan operasi pengangkatan mium,
karena berisiko pendarahan.
Pasca dari ruang operasi, saya diperkenankan untuk menengok
bayi kami. Alhamdulillah, bayi kami lahir dengan selamat. Bayi kami lahir di
tengah-tengah perjuangan. Perjuangan ibunya selama 9 bulan, perjuangan para
pembela kebenaran, perjuangan umat Islam di Bulan Ramadan.
Saya bergetar dan tak kuasa menahan haru saat
memperdengarkan adzan dan iqamah di dekat telinganya. Fathia Hanin Syahidah.
Itulah nama yang kami siapkan untuknya. Yang menyaksikan cinta dan kemenangan. Kurang
lebih itulah maknanya. Kelahirannya adalah harapan yang menya-nyala di tengah
deru perjuangan yang masih terus berkobar. Saya berharap, kelak ia akan menjadi
sosok pejuang kebenaran. Yang berani bersuara lantang ketika melihat kedzaliman
dan ketidakadilan.
Tak dapat saya lukiskan kebahagiaan, kecuali dengan
syukur yang tak habis-habis. Allah memberikan amanah satu lagi kepada kami. Kami
bertekad untuk bersungguh-sungguh, merawat dan mendidik dengan sebaik-baiknya. Semoga
ia, menjadi anak yang shalihah dan berbakti.
#bersemadi_harike11
#inspirasiramadan
#dirumahaja
#flpsurabaya
0 Response to "Ia yang Lahir di tengah Deru Perjuangan"
Posting Komentar