Menguak Hikmah Ramadan (Bagian 1): Menegakkan Kejujuran
Ramadan melatih kejujuran. Di siang hari panas, jika
seseorang mau, ia bisa makan dan minum sembunyi-sembunyi di dalam kamar, lalu
mengatakan kepada orang-orang, “Saya berpuasa.” Tapi mereka yang di dalam
dadanya ada iman, tidak akan melakukannya.
Kejujuran adalah pembeda, antara mukmin dan munafik. Suatu
hari Rasulullah ditanya, apakah mungkin orang mukmin itu pengecut? Mungkin,
kata Rasulullah. Apakah mungkin seorang mukmin bakhil? Mungkin, kata Rasululllah. Kemudian ditanya lagi, apakah
mungkin seorang mukmin itu pembohong? Rasulullah tegas menjawab, “Tidak!”
Sering berkata dusta adalah satu dari tiga ciri utama
orang munafik. Itulah yang terjadi sepanjang sejarah. Mulutnya mengatakan “iya”,
tapi hatinya “tidak”. Mulutnya mengaku beriman, tapi hatinya ingkar. Salah satu
dedengkot orang munafik di zaman Rasulullah adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.
Dia yang mempengaruhi kaum muslimin untuk tidak berangkat ke medan Uhud. Dia
yang mencerai beraikan pasukan kaum muslimin yang kokoh dari dalam. Dalam setiap
kesempatan, orang-orang munafik akan selalu menjadi musuh dalam selimut. Ia
lebih berbahaya daripada musuh yang jelas-jelas tampak. Karena sewaktu-waktu,
ia bisa menikam dari belakang.
Orang-orang munafik bisa shalat sama bagusnya dengan
kita di masjid. Bagus bacaan Al-Qur’annya saat tilawah. Tapi orang munafik tak
sanggup menahan lapar dengan berpuasa. Karena itulah, Allah hanya menyeru
orang-orang beriman untuk berpuasa di bulan Ramadan. Sebab hanya orang-orang
beriman yang jujur dalam melaksanakan puasa.
Kejujuran adalah pondasi yang kokoh. Siapapun yang
jujur dalam perkataan dan perbuatannya, ia akan sukses dalam hal apapun.
Kejujuran yang mengantarkan Rasulullah sukses dalam berdagang. Kejujuran yang
menjadikan Rasulullah disegani, baik oleh sahabat maupun musuh-musuhnya. Al-Amin gelar beliau. Sebab, bahkan
sebelum beliau diangkat menjadi rasul, tak sekali pun beliau berdusta.
Suatu ketika seseorang datang kepada beliau, minta
ditunjukkan bagaimana meninggalkan perkara-perkara haram seperti berzina dan
minum minuman keras. Rasulullah hanya menjawab singkat, “Selalu berkata jujur.”
Orang itu senang karena syaratnya begitu mudah. Tapi rupanya ia baru menyadari,
bahwa karena diminta untuk selalu jujur itu, lantas ia meninggalkan semua perbuatan
haram. Ia malu jika bertemu dengan Rasulullah, lalu ditanya dari mana,
sementara ia baru saja pulang dari tempat pelacuran atau baru saja menenggak
minuman keras. Kejujuran menyelamatkannya. Mengubahnya menjadi pribadi yang
jauh lebih baik.
Sebaliknya dusta atau berkata bohong menghancurkan
pelakunya. Dusta adalah induk dari segala dosa. Satu kebohongan akan ditutupi
dengan kebohongan yang lain. Sehingga ia akan dicatat sebagai pembohong. Dan
para pembohong akan cenderung melakukan segala cara untuk memenuhi seruan hawa
nafsunya. Ketika berniaga, ia akan berbuat curang dan culas. Ketika menjadi
pejabat, ia akan korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan. Ketika menjadi
pemimpin, ia akan menipu dan mendzalimi rakyatnya.
Ramadan mengajarkan kita untuk selalu jujur dalam
segala hal. Sebab kita sadar bahwa Allah mengawasi bahkan sekecil apapun yang
terbetik dalam hati kita. Tak ada yang luput dari pengawasan-Nya. Kita jujur
kepada Allah. Kita jujur kepada manusia. Anak-anak pun kita latih berpuasa,
sekaligus dengannya kita latih untuk jujur. Berhenti makan sebelum subuh dan
berbuka ketika adzan maghrib berkumandang. Tak boleh makan-minum meski hanya
setetes air di kamar mandi.
Bekas-bekas latihan kejujuran ini harus semakin
bersinar selepas Ramadan. Tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya
berkata dan berbuat jujur, ia juga menjadi berani memikul risiko apapun atas
kejujurannya. Ia katakan yang benar sebagai benar. Ia katakan yang salah
sebagai salah. Tak peduli meski untuk itu, ia harus membayar dengan nyawanya.
#inspirasiramadan
#dirumahaja
#flpsurabaya
0 Response to "Menguak Hikmah Ramadan (Bagian 1): Menegakkan Kejujuran"
Posting Komentar