Menguak Hikmah Ramadan Bagian 2: Menjembarkan Sabar
Inti dari sabar adalah “mengendalikan”. Selama puasa
Ramadan, kita mengendalikan diri dari makan-minum dan berhubungan suami istri
di siang hari. Kita mengendalikan diri dari menggunjing, berbuat aniaya,
berkata dusta, dan perbuatan maksiat lainnya. Kita mengendalikan diri dari rasa
malas dan enggan untuk beribadah; mendirikan shalat, tilawah Al-Qur’an,
bersedekah, dan perbuatan baik lainnya.
Karena itu, Ramadan adalah bulan peningkatan
kesabaran. Kesabaran di bulan ini harus lebih tinggi dari bulan-bulan
sebelumnya. Sebab tujuan akhir dari Ramadan adalah takwa. Sementara derajat
takwa, tidak mungkin akan tercapai tanpa kesabaran yang kokoh. Seorang hamba
yang bertakwa menempuh jalan kehidupan dengan sangat hati-hati, seperti
menyusuri jalan yang penuh duri di kanan kiri. Sabar dalam menitinya, menjadi
kunci keselamatan. Sebaliknya, kecerobohan dan ketergesaan adalah awal dari
kehancuran.
Tidak mudah memang, untuk memiliki kesabaran yang
puncak. Seperti kesabaran yang dimiliki Rasulullah SAW saat disambut dengan
lemparan batu dan kotoran oleh penduduk Thaif. Seperti kesabaran yang dimiliki
Khabbab bin Al-‘Arats saat tubuhnya dipanggang di atas bara api hanya karena
menyatakan keimanannya. Seperti kesabaran Imam Ahmad saat dipenjara dan disiksa
karena enggan mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Tetapi itu semua bisa
dilatih, ketika kita memiliki tekad dan tujuan yang jelas.
Ramadan adalah momentum yang tepat. Tujuannya jelas,
keluar sebagai pemenang; sebagai orang yang bertakwa. Triggernya disediakan
oleh Allah: pahala yang berlipat ganda, lailatul qadar. Sarananya adalah puasa.
Kenapa puasa? Saat perut kosong, orang lebih sulit untuk bersabar. Lebih mudah
tersulut emosinya. Lebih malas beribadah. Itulah ujiannya. itulah tantangannya.
Tetapi jika mereka mampu bersabar, mereka akan mampu bersabar terhadap
kesulitan-kesulitan lainnya.
Dan Allah bersama orang-orang yang sabar. Jelas sekali
ayat itu disebut berulang kali dalam Al-Qur’an. Allah menegaskan bahwa sabar
dan shalat akan menjadi penolong utama. Sebab ujian menjadi seorang mukmin itu
tidak ringan. Justru semakin besar keimanan, semakin besar ujian, sehingga
seyogyanya, semakin jembar pula kesabaran.
Sebesar apa? Tak ada batasnya. Sabar tak memiliki
batas. Karena jika ia berbatas, maka tidaklah seseorang itu disebut sebagai
orang yang sabar. Yang memiliki batas adalah masa ujiannya. Di bulan Ramadan,
selama 29 atau 30 hari, semenjak pagi hingga sore hari. Sementara kesabaran
dalam hidup, berbatas ajal. Ada orang yang sabar di masa hidupnya, tetapi tak
sabar saat menghadapi sakaratul maut. Maka ia gagal disebut sebagai orang yang
sabar. Seperti kisah salah seorang yang terluka dalam medan perang. Karena tak
tahan dengan rasa sakit, maka kemudian ia membunuh dirinya sendiri. Kata Rasulullah,
orang tersebut masuk neraka.
Semakin jembar kesabaran yang ia miliki, semakin
banyak pula pahala yang Allah sediakan. Semakin banyak dosanya diampuni. Seseorang
yang tertusuk duri, lalu ia sanggup bersabar, maka Allah akan hapus dosanya. Seseorang
yang sanggup bersabar saat sakaratul maut datang, tetap teguh dalam keimanan
hingga lepas ruh dari badan, maka akan Allah balas dengan sebaik-baik
kenikmatan. Salah seorang ulama bahkan ada yang mengatakan, “Aku ingin
sakaratul maut terasa sakit, karena itulah kesempatan terakhir agar dosa-dosaku
diampuni.”
Kita tempa kesabaran di bulan suci ini dengan
sebaik-baiknya. Agar pada bulan-bulan mendatang, kita lebih siap menghadapi
ujian demi ujian yang diberikan Allah. Sungguh hakikatnya, perjuangan di bulan
Ramadan membutuhkan kesabaran yang lebih besar dari jihad qital. Itulah yang
Rasulullah katakan selepas perang Badar. Kalau di medan perang kita bersabar
dari rasa lelah dan sakit yang memang menjadi konsekwensi peperangan, di bulan
Ramadan kita bersabar dari haus, lapar, dan “berhubungan” yang sebenarnya bisa
kita lakukan jika kita mau. Justru inilah ujian kesabaran itu: ketika kita
mampu melakukan sesuatu yang menyenangkan, tetapi kita berusaha
mengendalikannya. Ini serupa dengan pasukan Jalut yang diuji untuk mengambil
air hanya seciduk saja. Tapi sebagian besar justru mengambil berkali-kali untuk
memuaskan dahaga. Lebih banyak di antara mereka yang tidak lulus.
Bagaiman dengan Ramadan kita?
#bersemadi_harike16
#inspirasiramadan
#dirumahaja
#flpsurabaya
0 Response to "Menguak Hikmah Ramadan Bagian 2: Menjembarkan Sabar "
Posting Komentar