Menguak Hikmah Ramadan Bagian 3: Mengasah Empati
Kemanusiaan
kita kadang tenggelam jika sudah terlalu sibuk memburu dunia. Saat terlalu
kenyang kita lupa bahwa banyak orang yang terpaksa menahan lapar. Kita merasa
hidup sendiri dan berkecukupan, sehingga kadang lupa betapa banyak yang menanti
uluran tangan.
Maka lewat Ramadan kita
belajar "merasa". Rasa lapar mengingatkan kita pada orang-orang fakir
dan miskin. Kita merasakan apa yang mereka rasakan sepanjang hari, sepanjang tahun, sepanjang
hidup. Mereka yang
hidup di jalanan, di gubuk-gubuk reot, di kawasan kumuh dengan MCK seadanya.
Hati
kita tergugah. Egoisme kita hancur. Empati dan naluri kemanusiaan kita
membuncah. Ini yang membuat timbul rasa peduli. Kepedulian menggerakkan kita
untuk berbagi.
Alangkah
indah pelajaran Ramadan ini. Ia mengembalikan kita pada kemanusiaan yang
sesungguhnya. Menghancurkan perilaku hewani yang mencoba berkuasa. Naluri kita
diasah. Empati kita diasah. Maka tak heran kita lihat, orang-orang berlomba
bersedekah, orang-orang berlomba memberi makan orang lain, orang-orang berlomba
membagikan apa saja yang mereka miliki.
Kesempatan
emas ini mesti kita manfaatkan sebaik-baiknya. Siapa yang kurang mampu, kita
bantu. Mulai yang terdekat: keluarga, tetangga, teman, dan orang-orang yang
kita kenal.
Bermula
dari empati, kehidupan akan berjalan indah. Ketimpangan sosial berkurang.
Kesenjangan kikis. Ramadan mengajarkan makna berbagi yang luar biasa.
Di
dalamnya bahkan ada syariat membayar zakat fitrah. Berupa makanan pokok.
Isyarat yang terang dari Allah, bahwa jangan sampai ada yang tak bisa makan
hari ini, sementara banyak orang yang memiliki persediaan yang cukup untuk dua
hari. Begitu indah Islam mengajarkan tentang empati.
Suatu ketika, sahabat Rasulullah, Ali bin Abi Thalib
RA dan istrinya Fatimah sedang puasa. Menjelang buka puasa, seseorang mengetuk
pintu dan meminta sedekah. Ia mengaku sangat kelaparan. Dengan rela hati,
Fatimah memberikan roti yang ia siapkan untuk berbuka kepada pengemis itu.
Sedangkan ia sendiri dan suaminya hanya berbuka dengan segelas air putih.
Pada hari kedua, giliran seorang anak yatim datang
meminta sedekah. Kembali roti yang disiapkan untuk berbuka diberikan kepada
anak tersebut. Demikian pula yang terjadi pada hari ketiga. Sehingga selama
tiga hari itu, Ali dan Fatimah tidak makan sepotong roti pun. Kemudian mereka
mendatangi rumah Rasulullah. Maka turunlah Al-Qur’an surat Al-Insan ayat 5-10,
yang isinya adalah janji dari Allah berupa kenikmatan di dalam surga bagi
orang-orang yang ikhlas berbagi. Seketika hilanglah rasa lapar yang melilit dua
orang yang dicintai Rasulullah itu. Kabar hadiah dari Allah lebih indah dari
tiga potong roti yang sudah mereka berikan.
Begitulah tingkatan berbagi yang paling utama. Itsar. Mendahulukan
orang lain daripada dirinya sendiri. Kita yang kualitas keimanannya jauh
dibandingkan Ali, mungkin sulit berbagi dalam kondisi seperti itu. Butuh empati
yang lebih dari sekadar “merasa”, tapi sudah pada tingkat “menjadi”.
Namun itu semua bisa dilatih. Kita bisa mulai dari
hal-hal yang kecil. Misal kita membeli dua bungkus nasi, satu bungkus kita
berikan pada orang lain. Kita beli tiga bungkus, dua bungkus kita sedekahkan. Terus
seperti itu, ditingkatkan porsinya.
Ada kebahagiaan yang sulit diungkapkan, ketika kita
berhasil memberi apa-apa yang kita sukai kepada orang lain. Bukan sesuatu yang “sisa”,
tapi sesuatu yang benar-benar kita butuhkan.
Ramadan mengasah kepedulian semacam ini. Dari
empati, menjadi tindakan berbagi. Jika latihan ini sukses, maka pascaramadan
kita akan memiliki kepekaan sosial yang lebih tinggi.
Kemampuan
"merasa" dan “menjadi”
yang lebih tinggi. Kita menjadi lebih ringan untuk membantu sesama,
siapapun yang membutuhkan uluran tangan kita.
#bersemadi_harike17
#inspirasiramadan
#dirumahaja
#flpsurabaya
0 Response to "Menguak Hikmah Ramadan Bagian 3: Mengasah Empati"
Posting Komentar