Menguak Hikmah Ramadan Bagian 6: Membumikan Rendah Hati
Saat berjaya, manusia mudah lupa, bahwa yang disebut
miliknya sesungguhnya bukan miliknya. Semua hanya titipan Tuhan. Ia lahir tak
membawa apa-apa. Kelak, ketika meninggal, juga tak membawa apa-apa. Kecuali
sehelai kain kafan.
Jika manusia menginsafi itu semua sepanjang waktu, tak
akan ada kesombongan yang tampak di muka bumi. Semua akan merunduk seperti
padi. Seorang tukang parkir, tak pernah menyombongkan banyaknya mobil yang ia
jaga, sebab ia sadar hanya dititipi. Sewaktu-waktu, pemiliknya bisa
mengambilnya kembali. Ia tak pernah menangisi mobil-mobil yang pergi itu. Ia
justru senang, karena tanggungjawabnya berkurang.
Seperti tukang parkir, demikianlah seharusnya manusia
mengelola semua nikmat Tuhan. Banyaknya harta yang dimiliki, jabatan yang
mentereng, tak membuatnya tinggi hati. Sebaliknya, justru semakin membumi. Rendah
hati.
Orang yang rendah hati banyak disukai orang lain. Sementara
orang yang sombong, tak akan pernah bisa meraih simpati. Ia mungkin bisa
membeli apapun, tapi tak akan dapat membeli “hati” orang lain. Fir’aun dengan
kesombongannnya bisa memerintahkan apa saja, tapi tak sanggup memerintahkan
rakyatnya berpaling dari hidayah.
Dan pada akhirnya, kesombongan hanya membinasakan diri
sendiri. Mereka boleh membawa semua yang dibanggakannya, tapi ketika Allah
berkehendak, tenggelamlah Fir’aun dan bala tentaranya di laut merah. Tenggelamlah
Qarun dan hartanya ke dalam perut bumi. Saat itu, kesombongan mereka tak
artinya lagi.
Sungguh, hendaknya kita berhati-hati terhadap sikap
sombong. Menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Pelakunya, tak akan
mencium wangi surga. Dijauhkan dari hidayah. Jika kita mempelajari kisah
orang-orang jahiliyah di zaman Rasulullah, kita akan menemukan bahwa para
dedengkot kafir Qiraisy yang tak beroleh hidayah, karena mereka belum
menanggalkan pakaian kesombongan dari dalam diri mereka. Mereka sudah
mengetahui kebenaran, tetapi kesombongan menjadi tabir gelap dan tebal yang
membuat hati mereka tertutup.
Kesombongan hanya pakaian Allah. Hanya Dia yang
berhak. Sebab Dia yang memiliki segalanya. Sementara manusia, hanyalah
makhluk-Nya dan tak memiliki apa-apa. Bagaimana mungkin manusia berani memakai “jubah
kebesaran” Tuhan? Betapa lancangnya!
Kita perlu disadarkan terus-menerus tentang hal ini.
Semua yang kita miliki bukan karena usaha kita, tapi karena pemberian-Nya. Bukankah
banyak yang jungkir balik mencari uang, tapi ia masih hidup sengsara? Bukankah
banyak yang kemarin masih kaya-raya, tiba-tiba esoknya jatuh bangkrut dan miskin?
Bukankah banyak yang kemarin masih memamerkan rumah mewahnya, lalu esoknya
habis disapu badai atau banjir bandang?
Ramadan adalah pengingat yang paling ampuh, agar kita
tunduk di hadapan yang mahabesar. Dialah Allah azza wa jalla, yang memiliki alam semesta ini. Saat kita lapar di
siang hari, bukankah itu tanda bahwa kita sangat lemah tak berdaya hanya karena
tak makan-minum setengah hari? Rasa lapar adalah tanda, bahwa manusia masih
membutuhkan sesama. Nasi yang kita makan, adalah hasil keringat para petani di
sawah, juga ada andil para pembuat pupuk, dan semua orang yang terlibat dalam
pengolahannya menjadi beras hingga ditanak menjadi nasi. Faktanya, kita tak
bisa hidup sendiri.
Puasa adalah semacam pembersihan ruhani. Tak boleh ada
kerak-kerak tinggi hati yang masih menempel dan tersisa dalam kalbu kita. Semua
dihapus sampai bersih.
Semoga selepas Ramadan, kita akan menjadi
pribadi-pribadi yang membumi. Sebanyak apapun harta yang kita miliki, seluas
apapun ilmu yang kita miliki, setinggi apapun jabatan yang kita miliki. Kita ingat,
semuanya titipan. Dan tak ada yang lebih baik dari orang yang diberi titipan,
kecuali menjaganya dengan sebaik mungkin. Sampai pemiliknya mengambilnya
kembali.
#bersemadi_harike20
#inspirasiramadan
#dirumahaja
#flpsurabaya
0 Response to "Menguak Hikmah Ramadan Bagian 6: Membumikan Rendah Hati"
Posting Komentar