Tiga Ramadan Tiga Kali Lahiran
Dalam tiga tahun terakhir, Ramadan ternyata menyimpan
momen tak terlupakan. Tiga kelahiran. Yang berarti tiga kali penantian
mendebarkan. Tiga kali kebahagiaan. Dan tiga harapan yang menjulang.
Kelahiran yang saya maksud tidak harus selalu berupa
kehadiran buah hati. Ramadan 1439 H, buku saya yang berjudul “Rumah Tangga
Tanpa Cinta” terbit. Ramadan 1440 H, kali ini benar-benar buah hati yang lahir.
Ramadan 1441 H, bertepatan dengan tahun ini, buku saya berjudul “Risalah Pesona”
terbit.
Kelahiran buah hati adalah kebahagiaan bagi kedua
orang tua. Juga kebahagiaan bagi keluarga besar, kerabat, teman, dan
orang-orang yang mengenal kita. Semuanya mendoakan agar anak kita nanti menjadi
anak yang shalih atau shalihah. Orang-orang ramai mengunjungi, melihat rupa
bayi, memuji, dan bergantian menimangnya. Kedua orang tuanya berharap, agar
anak itu nantinya menjadi anak yang berbakti, yang bisa mengantar kedua
orangtuanya ke dalam surga. Orang-orang mengatakan, anak adalah investasi
akhirat yang sangat berharga. Karena itu harus dirawat, dididik akhlaknya,
diajari ilmu agama.
Sementara kelahiran karya tak kalah membahagiakan bagi
penulisnya. Penulis ibarat orang tua tunggal yang melahirkannya dengan susah
payah; menjadi sebuah buku. Awalnya hanya lintasan pikiran, ide yang berkecamuk
dalam benak, lalu diolah dan dirangkai menjadi kalimat, menjadi baris demi
bari, menjadi paragraf, hingga jadilah sebuah naskah utuh yang siap dicetak. Prosesnya
kadang lebih singkat, tapi tak jarang lebih lama dari proses mengandung seorang
ibu. Masa-masa sulit pun sering dialami oleh penulis sebelum “melahirkan”. Jika
tak benar-benar berjuang, maka bayi mungil berupa buku yang beratnya hanya
hitungan ons itu, hanya akan tinggal khayalan. Tinggal angan-angan.
Begitulah lahiran yang saya alami. Tentu saja, lahiran
yang kedua, anak kedua saya itu, lewat rahim istri saya. Tapi saya membersamai
prosesnya, sejak awal dinyatakan positif, hingga detik-detik ia dilahirkan.
Berbeda dengan proses lahiran buku saya. Hampir seluruhnya saya garap sendiri.
Sekali-kali juga saya minta pendapat istri. Terutama soal calon cover buku dan judul. Semua berjalan
lancar, Alhamdulillah. Tak ada halangan yang berarti.
Namun demikian, meski buku-buku itu saya tulis dengan
tangan sendiri, banyak orang yang terlibat di dalamnya. Baik langsung maupun
tidak langsung. Percetakan tentu mengambil peran dalam proses cetaknya. Sementara
dalam proses penulisan, saya yakin banyak yang tidak menyadari bahwa dirinya
terlibat dalam lahirnya “anak” saya itu. Bahkan banyak nama yang saya sebutkan
di dalamnya. Merekalah yang sedikit ataupun banyak telah menjadi sumber
inspirasi. Dengan kata lain, mereka turut menjadi trigger proses “persalinan” karya saya. Kepada mereka saya
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga.
Demikianlah salah satu momen paling membahagikan bagi
saya di tiga kali Ramadan berturut-turut. Kelahiran yang diharapkan menjadi
awal sebuah perubahan. Apa lagi kalau bukan: kehidupan yang lebih baik. Anak yang
tidak sekadar menjadi penyejuk mata, tetapi menjadi salah satu sarana untuk
menambah pundi-pundi pahala. Begitu pula karya. Saya berharap, buku-buku yang
saya tulis tidak hanya menjadi hiburan dan bacaan pelepas penat, tetapi jauh
lebih besar dari itu: menjadi anak tangga-anak tangga yang bisa saya tapak
menuju surga. Karya-karya yang tidak hanya memberikan kebahagiaan bagi saya di
dunia, tetapi juga di akhirat.
Saya tidak tahu, Ramadan tahun depan, apakah akan
lahiran lagi. Apakah lahiran karya atau lahiran bayi lagi? Atau dua-duanya?
Hehe. Yang jelas, sepertinya saya akan berusaha lebih giat untuk itu. Menarik
juga jika menjadi tradisi pribadi. Bulan penuh berkah sekaligus penuh
kebahagiaan. Bulan perjuangan sekaligus lahirnya hasil perjuangan.
#bersemadi_harike12
#inspirasiramadan
#dirumahaja
#flpsurabaya
0 Response to "Tiga Ramadan Tiga Kali Lahiran"
Posting Komentar